Kepalanya sudah sejajar dengan pemandangan di depan sana. Meja buku pengembangan diri itu kini terhalang oleh dua orang bertubuh tinggi yang tengah berbincang ria. Posisi mereka berdempetan dengan raut-raut penuh ketertarikan satu sama lain. Sang perempuan berambut pirang terang, hidungnya lancip dan sangat cantik. Ia masih memakai jas almamater Effingham University. Tangan kirinya memperlihatkan buku Sister Love Sister kepada Tom yang menggerling penasaran di sebelahnya.
Tom, tanpa mengetahui Emma berada beberapa meter di belakangnya, tampak nyaman dengan jas kuliah yang bertengger di lengan kanan. Emma tidak bisa berkata apa-apa. Matanya tidak berkedip melihat pemandangan itu. Terlebih lagi, saat si perempuan meninju pelan lengan Tom—tampak dekat dan begitu akrab. Tom hanya terkekeh menanggapinya, dengan mata yang tidak lepas dari wajah perempuan itu.
Emma mengeluarkan ponsel dengan tangan yang berkeringat dingin. Ia menekan tombol kamera dengan perasaan yang kalut.
Satu jepret, dua jepret, dan ia tak bisa menekan gambar lebih banyak. Ia berdiri dari sofa, menyimpan buku A True Hope secara perlahan di raknya kembali. Ia menyambar buku-buku di dekatnya dengan asal. Setidaknya lima buku yang mungkin memiliki ending yang membahagiakan. Ia berjalan memutar ke arah yang lebih tersembunyi agar tidak ketahuan Tom dan pacar barunya itu—mungkin. Langkahnya begitu cepat dan seperti orang yang takut ketahuan mencuri barang di toko buku.
Emma meremas buku-bukunya ketika sampai di kasir yang penuh antrian. Kakinya bergerak-gerak gelisah. Satu persatu pembeli mulai menyingkir, tapi rasanya terlalu lama bagi keadaan yang sedang ia alami.
Untuk pertama kalinya, ia jengkel dengan pembeli yang memakai kartu kredit. Lama sekali, sih! Emma menggigit bibir bawahnya, tak berani menatap sekitar karena takut Tom akan memergokinya berada di sana. Ia lebih memilih untuk pura-pura fokus pada kegiatannya. Sehingga bila ia memutuskan untuk pura-pura tidak melihat dan tidak tahu, tidak akan masalah.
Akhirnya ia sampai dan menaruh buku itu di atas meja kasir. Wanita berjas itu dengan sigap memeriksa harga dengan bunyi peep peep keras.
Bagus, bagus! Cepat, aku tak tahan di sini!
"Totalnya 43 poundsterling," ucap sang kasir ramah. Emma mengeluarkan kartunya, dan meringis dalam hati saat sadar ia pun menggunakan benda itu untuk pembayaran. Ia langsung merasa bersalah karena jengkel dengan orang sebelumnya.
Emma meraih sekantong besar buku-bukunya, dan menyesali untuk kedua kalinya kenapa harus membeli sebanyak itu, besar, dan tak sebanding dengan tubuhnya yang mungil. Emma terlihat tak nyaman saat menyingkir dari sana. Kepalanya menunduk, matanya sudah sangat panas. Tenggorokannya sedikit tercekat menahan air mata yang akan tumpah.
Ia berjalan menuju eskalator dan mengucek matanya agar tidak terlihat akan menangis.
"Kau lihat siapa?" tanya perempuan yang baru saja sampai di antrian kasir sambil memeluk buku Sister Love Sister.
Tom berhenti memicingkan mata dari arah eskalator, lalu menggeleng.
"Bukan siapa-siapa," jawabnya.
~~~
Emma membuka pintu kamarnya dan membantingnya untuk pertama kali selama seumur hidup.
Albert baru saja menaruh kunci mobil di atas meja di dekat TV. Ia tatap pintu kamar Emma yang baru saja terdengar dikunci. Alex keluar dari kamarnya sambil menggenggam ponsel.
Albert dan Alex saling pandang namun belum ada yang bicara.
"Uh... Aku sedang berpikir apa aku mengatakan hal yang salah selama pulang tadi," ujar Albert khawatir. Ia memang banyak sekali bertanya saat di mobil, soal kesehatan Emma, kegiatan di sekolah, hobi, buku, dan makanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAUTE VALUER [COMPLETED]
General Fiction🎨WAKE ME UP WHEN I SLEEP 2 🎨 Seorang guru seni lama bernama Mr. Taylor yang baru saja menyelesaikan studi strata duanya kini datang untuk mengajar kembali. Kehadirannya sangat membawa keuntungan bagi sekolah. Salah satunya membuka kembali Klub Tea...