"Aku sama mereka, ya?" Alex meminta izin padaku apakah aku akan membiarkannya duduk bersama teman-temannya.
Aku melihat empat orang seumuran Alex yang sedang bercakap-cakap beberapa meter dariku. Ada Arthur berambut pirang terang, Brian dari klub matematika, Louis anak guru astronomi dan Melvin yang sering menyapaku saat di kelas.
Aku hanya mengecek sosok teman-teman Alex. Dan aku merasa Alex akan baik-baik saja dengan mereka.
"Ya, deh, boleh," jawabku agak berat karena jika Alex bergabung dengan grupnya, itu artinya aku harus mencari tempat duduk sendiri--tentunya harus juga melihat siapa yang ada di sekeliling kursiku.
Alex puas mendengar jawabanku. Ia lalu berjalan cepat menuju teman-temannya yang langsung melesat mencari kursi di tribun paling atas.
Aku terpaksa mencari bangku jajaran ketiga dari depan. Hanya jajaran itu yang masih kosong. Banyak anak menghindari wilayah yang satu itu karena hampir sejajar dengan panggung.
Aku berhasil merebahkan diri di kursi sambil merasa takut jika tidak ada yang mau duduk di sebelahku. Aku buru-buru menggeleng pelan lalu menunduk.
Memangnya aku ini hantu? Kecemasanku hampir berulah lagi.Tepat pada saat itu, seseorang memanggilku. "Hai, permisi. Aku boleh duduk di sini?"
Aku mengangkat kepalaku, ada seorang perempuan dengan mata cokelat terang. Rambutnya pirang hampir putih dan tampak agak kusut.
Aku mengangguk mempersilahkan. "Boleh."
Ia tampak senang. "Terima kasih, Emma!" Gadis itu pun duduk. Terdengar grasak-grusuk darinya. Ia seperti bingung menyimpan camilan dan minuman yang ia bawa. Tempat snack di bangkunya sudah penuh.
"Di sini saja," ujarku sambil menunjuk tempat minum di lengan bangkuku.
Dia nyengir, terlihat merasa tak enak. "Bolehkah?"
"Tentu saja, boleh!" seruku yakin.
"Benar kata orang. Kau baik sekali."
Aku tertegun mendengarnya. Baik? Aku baru saja hendak bergerak untuk berkenalan dengannya. Tapi tiba-tiba, mikrofon mendengung, membuat beberapa anak menutup telinganya linu dan terdengar ribut sesaat.
Jack tertawa di depan mikrofon. "Kasihan."
Semua terkekeh mendengarnya. Beberapa anak mulai memenuhi jajaranku. Aku agak memerhatikan saat mereka tersenyum ramah padaku.
"Mau?" Gadis di sebelah kananku tadi menyodorkan popcorn. "Aku tahu padahal ini bukan pertunjukan hiburan. Tapi ini enak, tahu! Coba, deh!"
Aku pun mengambil beberapa butir popcorn karamel. Enak sekali!
"Trims," ucapku senang.
"Hihi sama-sama Emmaaa!" Gadis ini ceria sekali. "Eh? Kau sudah tahu namaku belum?"
Popcorn di mulutku sudah habis. Aku menggeleng pelan.
"Hahaha tidak apa-apa, kok. Wajar. Kenalkan namaku Karina. Kalau kau tahu, aku sering satu kelas denganmu." Dia lalu menjulurkan tangannya. Aku terpaku sesaat, karena sensasi berkenalan dengan teman baru seperti asing bagiku.
"Salam kenal," ujarku tanpa menyebutkan namaku lagi karena tadi aku mendengarnya menyebutkan namaku.
Karina tersenyum lebar. Ternyata ia memakai kawat gigi di bagian bawah. Hanya kawat tanpa karet berwarna. Aku sempat terpana dengan sikapnya yang sangat ramah dan ceria.
"Good morning, everyone."
"Good morning, Principal Grazer." Jawab anak-anak. Kepala sekolah Effingham berdiri di panggung sambil menyapa ramah murid-murid tahun 10 sampai 12. "Saya salut dengan semua kursi tribun yang hampir penuh. Di sini, saya sudah--"
KAMU SEDANG MEMBACA
HAUTE VALUER [COMPLETED]
General Fiction🎨WAKE ME UP WHEN I SLEEP 2 🎨 Seorang guru seni lama bernama Mr. Taylor yang baru saja menyelesaikan studi strata duanya kini datang untuk mengajar kembali. Kehadirannya sangat membawa keuntungan bagi sekolah. Salah satunya membuka kembali Klub Tea...