Hiasan Kepala

49 6 0
                                    

Taylor melamun, menatap kosong koleksi-koleksi karya seni di sekelilingnya. Tenggorokannya terasa kering karena sudah lelah menjawab pertanyaan-pertanyaan para murid tentang ruang seni ini.  Taylor menatap sekeliling. Menelusuri satu persatu karya seni yang sudah ia buat sejak awal kuliah sampai menjadi guru di Effingham. Ya, semua patung, lukisan, relief, dan semua bentuk seni rupa terpampang dan terpajang di sana. Di atas meja berjajar semua artwork yang ia ciptakan sendiri. Tentu saja, hal itu membuat Brian dan kawan-kawannya mati-matian memuji sang guru.

Taylor berjalan mendekat ke meja di tengah ruangan. Ia mengangkat sebuah patung kecil—bust berwajah Leonardo da Vinci—yang ia buat ketika masih semester tiga kuliah. Taylor tidak tersenyum menatap nama sang pencipta —dirinya sendiri, di bawah kepala tersebut.

Ia menaruh bust itu dengan hati-hati, lalu kembali memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ia menaruh bust itu dengan hati-hati, lalu kembali memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Tubuhnya yang tegak berdiri kini menghadap lukisan besar di tengah dinding. Kedua ujung bibir Taylor tertarik ke sisi pipinya. Ia mengingat perjuangannya selama membuat lukisan tersulit, sekaligus proyek terbesar dan terlama yang pernah ia buat seumur hidup.

Taylor menghela nafas. Menyadari bahwa usahanya membuat semua benda bernilai seni tinggi di ruangan tersebut adalah jerih payah yang tidak bisa didapatkan hanya dalam sekejap mata. Taylor refleks mengangkat tangan kanannya. Menatap setiap urat yang timbul dari punggung tangan.

Kuharap tangan ini akan selalu ada sampai akhir hayatku.

Setelahnya, ia kembali mendapatkan ide untuk melukis sesuatu yang berhubungan dengan tangan sebagai objeknya—nanti.

Tok tok tok...

"Boleh aku masuk, Sir?" Suara khas dan imut terdengar menelisik ke dalam gendang telinga sang guru.

Mr. Taylor membalikkan tubuhnya, dan melihat gadis rupawan itu berdiri di ambang pintu.

"Sini, Emma

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sini, Emma."

Emma berjalan masuk, sambil melihat-lihat sekeliling. "Bagus sekali..."

Taylor sudah menerima pujian-pujian yang lebih dari itu sejak anak-anak lainnya masih berada di ruangan ini bersamanya. Tapi, saat Emma yang memuji, ada perasaan yang membuat dadanya bergetar lembut.

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang