"Setelah itu, kau bisa mengisi soal essay tahun lalu di sini dan menulis alasannya di sini." Taylor melepas telunjuknya dari pertanyaan di lembar soal itu. Emma mengangguk-angguk paham, menjentikkan pulpennya dan mulai mengisi pertanyaan-pertanyaan mengenai materi kesenian di sekolah, pendapat tentang bakat, dan mengomentari karya seni.
Taylor sudah menyalakan timer selama satu jam lamanya. Ia kini sedang keliling kelas untuk melihat-lihat poster-poster yang tertempel di sana. Langkahnya kecil-kecil, mengitari setiap sudut kelasnya sendiri. Taylor menoleh sebentar kepada Emma yang sedang duduk membelakanginya di bangku depan. Rambut indahnya terurai rapih. Taylor tak menyangka Tuhan mengabulkan harapannya. Bahwa ia bisa berada satu langkah lebih dekat dengan murid favoritnya yang satu itu.
Taylor langsung memalingkan wajah saat seorang siswa melewati pintu kelasnya. Ia tidak mau kepergok sedang memandangi murid perempuannya sendiri.
Lama setelah itu, Taylor melirik jam tangannya. "Lima menit lagi." katanya dengan suara khas lelaki dewasa.
Emma tinggal memeriksa dan membaca ulang isi jawabannya saja. Setelah waktu habis, Taylor kembali ke bangku di depan Emma dan mengambil kertas jawabannya.
Emma agak gugup, lalu tak sengaja melihat Alex sedang berlagak cekikikan tanpa suara di balik pintu kelas. Taylor melirik Emma dan menoleh ke pintu--dimana Alex baru saja bersembunyi.
Emma mendelik. "Maaf, dia suka menganggu."
"Alex?" tanya Taylor.
"Iya," jawab Emma. "Bagaimana jawabanku, Mr. Taylor?" tanya Emma untuk membuat Taylor fokus ke lembar jawabannya lagi.
Agak lama Taylor membaca, lalu senyum yang terukir di wajahnya membuat Emma memiliki rasa percaya diri.
Taylor menumpuk kertas itu dan berujar, "Kau hebat dalam merangkai kata."
"Apa ada yang perlu diperbaiki?" tanya Emma.
"Hanya bagian nama-nama seniman abad 19 masih ada salah pengejaan," komen Taylor mengarahkan.
Emma mengangguk pelan. "Aku memang sulit mengingat nama orang."
"Kau tahu nama lengkapku?" tanya Taylor, entah untuk apa.
Emma berpikir sejenak. "Mr. Taylor Carpenter, 'kan?"
Taylor merobek sebuah kertas kosong dan menulis sambil menggumamkan namanya. "Taylor... Hal.. Maxwell... Carpenter..."
Emma membaca ulang nama itu. Taylor selesai menulis dan menaruh kertas itu di tangan Emma. "Kuharap kau tidak lupa yang satu ini."
"Semoga saja tidak," kekeh Emma. Ia pun tergerak untuk menanyakan umur lelaki dengan rambut bergelombang gelap di depannya itu. "Mr. Taylor.. bolehkah aku bertanya sesuatu?"
Taylor menelan ludah. "Iya, tentu saja boleh."
"Berapa umurmu?" tanya Emma agak malu-malu.
Taylor sedikit mengernyitkan dahi namun tidak langsung menjawabnya. "Menurutmu?" tanya Taylor, berusaha agar obrolan ini terasa cair dan menyenangkan.
"Hmmm..." gumam Emma. "Dua puluh... dua?"
"Terlalu muda," sambung Taylor, menikmati tebak-tebakan kecil ini.
Dalam hati Emma termenung sejenak. Apakah usia Taylor sangat terlampau jauh darinya?
"Dua puluh empat?" tanya Emma ragu-ragu.
Taylor menggeleng. "Hm-mm." Emma terus berpikir, Taylor sesekali tersenyum hangat melihat Emma yang tampak kesulitan menebak usianya.
Taylor akhirnya tertawa. "Aku dua puluh lima, Emma."
KAMU SEDANG MEMBACA
HAUTE VALUER [COMPLETED]
General Fiction🎨WAKE ME UP WHEN I SLEEP 2 🎨 Seorang guru seni lama bernama Mr. Taylor yang baru saja menyelesaikan studi strata duanya kini datang untuk mengajar kembali. Kehadirannya sangat membawa keuntungan bagi sekolah. Salah satunya membuka kembali Klub Tea...