I Find It Right

24 6 0
                                    

Boks ini adalah hadiah terindah yang kudapatkan di Effingham. Aku terus memeluknya sambil berbunga-bunga. Karina sudah pergi kembali bersama teman-temannya. Aku pun sudah sempat berfoto bersama Mr. Oswald. Dia tidak sombong dan murah senyum.

Kini aku menghampiri loker dan mengambil tasku. Hanya ada sedikit orang-orang di sini. Suasana Effingham saat siang dan agak lengang memang menenangkan. Pemandangan sekolahnya yang keren terlihat lebih jelas. Aku berbalik dan mulai mencari Alex. Aku melirik setiap kelas-kelas, ternyata masih tersisa beberapa kelompok anak yang sudah siap di kelasnya.

Hingga aku sampai di kelas Inggris yang ribut. Aku mengetuk, membuat Alex dan teman-temannya menoleh.

"Hey," sahut Alex.

Aku masuk dengan langkah perlahan. "Aku harus bimbingan lagi sekarang."

Alex melirik jam tangannya. "Oh--ya benar. Masih siang," ujarnya lalu menatapku. "Kau duluan saja, aku janji akan menyusul."

Aku mengerti Alex sedang bersenang-senang bersama teman barunya. Jadi aku menurut. "Oke deh. Tapi cepat, ya. Di kelas seni seperti biasa."

"Right."

"Aku cari dulu Mr. Taylor. Bye," pamitku keluar kelas.

"Bye, Emma..." Teman-teman Alex membalas .

Aku pun harus menyusuri koridor lagi dan lagi. Tak ada banyak orang membuat sekolah jauh lebih luas dari biasanya. Aku datang ke kelas seni yang kosong melompong, tapi tak kutemukan Mr. Taylor di sana. Aku menaruh boksku yang lama kelamaan terasa berat dan melepas tasku. Aku pun keluar kelas dan mulai mencari.

Langkah kuperlambat saat merasa dada kiriku terasa kram lagi. Aku menyentuh jantungku dan lekas menurunkan tangan saat berpapasan dengan seorang teman.

Aku sampai di ruang guru, ada Ms. Ronan yang sedang memainkan ponselnya. Aku menghampiri guru bermata biru dan berkulit putih itu.

"Ms. Ronan," panggilku, ia langsung melihatku.

"Hei, Emma," jawabnya lembut.

"Apa Mr. Taylor ada?"

Kuperhatikan wajahnya tampak terpaku dulu. "Uhm, dia sedari tadi tidak ada di sini. Mungkin di kelas?"

"Aku sudah mencarinya tapi tak ada, Miss."

Ms. Ronan berpikir sejenak. "Aku coba telepon, ya. Mau bimbingan, ya?"

Aku mengangguk. "Iya, Miss."

Ms. Ronan menaruh ponsel di telinganya, lalu melepas dengan kecewa. "Tidak ada, Emma."

Ms. Lili datang, ia tersenyum kepadaku. Sampai-sampai aku bisa melihat matanya menyipit saking lebarnya senyum itu padaku.

"Ada apa?" tanya Ms. Lili.

"Emma mencari Taylor," jawab Ms. Ronan, aku mengiyakan.

"Kulihat tadi ia keluar, tapi entah kemana." Ms. Lili berkata dengan mata yang tidak lepas dariku.

"Ya, tidak apa-apa, Miss. Aku akan mencarinya. Terima kasih," ucapku kemudian. Aku pun pamit dari sana, masih menyisakan tanda tanya di kepalaku--kenapa Ms. Lili menatapku seperti itu? Semoga tidak perlu ada yang dikhawatirkan.

Aku pun sampai dan mencari ke ruang teater, tapi nihil. Lalu, aku berpapasan dengan Ben setelah itu.

"Ben!" seruku.

"Ya?" Teman sekelas seniku yang berbakat itu menghentikan langkahnya di dekatku.

"Kau lihat Mr. Taylor?"

Ben menoleh ke belakang dan berkata, "Ya, aku lihat. Kurasa ia tadi mengarah ke bagian belakang sekolah."

Aku berpikir. "Belakang sekolah?" tanyaku meyakinkan.

"Iyap! Eh--aku duluan ya harus mengerjakan sesuatu," kata Ben.

"Trims, Ben!" kataku lalu menuju selasar belakang sekolah. Sinar mentari menyentuh kepalaku, terasa hangat dengan sedikit angin yang tertiup pelan.

Bagian belakang Effingham kini tampak tidak mudah untuk dilihat. Lebih tepatnya, bangunan kantor lama yang belum selesai direnovasi pasca ledakan tahun lalu. Untuk beberapa saat memori membawaku ke kejadian paling menegangkan dari hidupku itu.

Untung aku masih selamat, batinku saat melihat hampir setengah bangunan ini pernah hancur.

Aku berusaha untuk berlama-lama di sana, sampai aku memilih kembali lagi ke dalam gedung. Namun, saat aku hendak melewati bangunan yang masih utuh, aku mendengar ada suara tawa seseorang dari balik gudang. 

Mr. Taylor?

Lalu aku melangkah berbelok dari selasar dan mendekat ke belakang gudang yang terdiri dari jajaran tempat sampah dan pojokan kotor.

Disitulah aku berada untuk meyakinkan apakah guru yang kucari ada di sana. Dan benar saja. Mr. Taylor sedang berbincang asyik dengan seorang guru lelaki yang tak kukenal. Mereka berada di sebelah tempat sampah hijau besar dengan masing-masing jemari yang menjepit sebuah puntung rokok yang menyala.

"Emma?" Mr. Taylor terlihat terkejut melihatku datang secara tiba-tiba. Tangan kanannya perlahan bergerak turun dan menyembunyikan benda itu seraya melirik penuh arti guru di depannya.

"Aku sudah selesai, Mr. Taylor," kataku sambil mendekat, namun menjaga jarak karena asap rokok itu agak berbahaya bagi kesehatan jantungku.

"Oh--sudah jam satu, ya. Yasudah ayo kita bimbingan," Mr. Taylor menatap jam tangannya lalu membuang rokok itu dan berdiri di sebelahku. Lalu kami pun pamit kepada guru berambut hitam yang kikuk dan tak percaya.

Aku tidak berkata apa-apa selagi kami berjalan berdua. Pikiranku lagi-lagi berisik, penuh tanya mengenai pemandangan kurang menyenangkan tadi.

Aku tahu guru boleh merokok di luar lingkungan sekolah. Tapi kukira, gudang masih bagian dari bangunan Effingham. Entahlah, mereka pun punya hak untuk menghisap benda itu.

Energi Mr. Taylor di sebelahku terasa berbeda, mungkin karena soal aku yang datang tanpa basa-basi.

"Aku sudah mencarimu sedari tadi. Maaf jika aku tiba-tiba datang tanpa permisi." Aku yang tak enakan pun mengatakan hal tersebut--untuk mengisi kekosongan dan juga ingin melihat ekspresi guruku itu.

Mr. Taylor tersenyum, menoleh sekilas kepadaku dan menatap lagi ke arah depan. "Tidak apa-apa. Akulah yang lupa sudah jam satu," jawabnya tanpa melirikku.

Alex datang dari arah berlawanan, lalu kami bertiga pun masuk dan memulai pembelajaran.

~~~

"Hhh," aku membuang nafas jengah.

"Kau kenapa, sih?" Alex membuang kulit jeruk.

Aku meliriknya dan berkata, "Mr. Taylor itu perokok, ya?"

Alex termenung sesaat namun langsung mengunyah lagi. "Mungkin."

"Aku melihatnya. Tadi," kataku memberitahu Alex.

"Memangnya kenapa? Bukan hal yang asing 'kan kalau guru merokok?" tanya Alex dan duduk di sebelahku.

"Aku tahu," sahutku lemas.

Alex menoleh padaku, kulihat ujung bibirnya tertarik. "Hmmm," gumam Alex mengerti sesuatu. "Perokok tidak masuk kriteriamu, ya?"

"I find it right," jawabku. Lalu, mataku membelalak dengan sendirinya. Kenapa melihat Mr. Taylor merokok terasa berat bagiku?

"Aku mau tidur." Aku berdiri dan ditahan Alex. 

"Cerita, sini," katanya sambil menengadah.

"Tidak mau. Kau sering tidak nyambung."









HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang