McDonald's

19 4 0
                                    

Emma dan Alex berjalan santai bersama di koridor Effingham. Para murid senior saling berlarian. Beberapa kelompok terdengar ribut-ribut akan pergi nongkrong atau bersenang-senang saat pulang sekolah.

Emma menelan ludah pahit ketika anak-anak cewek sebayanya menaiki mobil atap terbuka dan bernyanyi riang.

Mereka menikmati masa remaja... lirih hatinya pedih.

Tiba-tiba ia melebarkan matanya selagi berjalan. "Aku jadi kepikiran. Tadi saat kita diskusi, teman-temanmu tidak ada yang menguping, 'kan? Maksudku, tidak ada yang paham bahasa Rusia?"

Alex ikut memeras kepalanya. "Iya juga," sahutnya. "Tapi kau tenang saja. Mereka laki-laki. Jarang bergosip seperti perempuan. Dan setahuku mereka asli orang Inggris."

Emma tersenyum lebar, menampakkan giginya. "Kata siapa? Laki-laki juga bisa bergosip."

"Mana buktinya?" tantang Alex dengan ekspresi menyebalkan.

"Ini," tunjuk Emma ke dada Alex. "Orang di depanku senang membicarakan orang lain." Alex membuka mulut namun Emma tak henti berbicara sampai disitu. "Kau menceritakan semua yang kau lihat, yang kau dengar dan yang kau terka dari orang lain. Ya tidak?"

Alex menutup bibirnya lagi. "Itu... perilaku yang buruk," aku Alex.

Emma menggerakkan kepalanya ke depan. Gerbang Effingham semakin dekat. "Kau boleh ceritakan apapun kepadaku, dear. Sama seperti aku yang membutuhkan telingamu untuk bercerita."

Wajah Alex murung. "Aku tidak pernah bermaksud cerita aneh-aneh soal orang lain. Aku tak bermaksud bergosip seperti itu. Aku senang memberimu kabar-kabar di sekolah."

"Aku senang, kok! Kurangi saja kadar cerita yang di awali 'katanya' dan 'katanya'. Dan membicarakan kekurangan orang lain itu tidak baik," jelas Emma tanpa menyinggung perasaan Alex.

Saudaranya itu tersenyum mengakui kesalahannya. "Ingatkan aku jika aku mulai keluar batas."

"Ingatkan aku juga," balas Emma.

Kemudian, mereka melihat Mr. Taylor keluar dari ruangan tata usaha. Guru tersebut melihat Emma dengan bibir yang setengah tersenyum. Ia pun berjalan membelakangi mereka, dengan tas hitam yang mengayun di tangan kirinya. Jas hitam yang dipakai sejak pagi itu masih rapih, begitupun dengan rambut Mr. Taylor yang menarik dimata semua orang.

Emma berpikir, apakah benar seorang guru yang begitu gagah, profesional dan menarik itu mengajak ia pergi ke bazar?

"Kau terlihat tercengang. Kenapa?"

Sial, batin Emma. Alex selalu bisa menebak ekspresinya. Padahal Emma merasa biasa-biasa saja.

"Ekspresiku memang mudah terbaca, ya?" Emma agak takut sejujurnya.

Alex menyenggol lengan Emma dengan sikutnya. "Aku hidup bersamamu sudah berapa tahun, sih?"

Mereka pun sampai di depan gerbang, menunggu seseorang menjemput mereka. Emma bersyukur Alex hanya bertanya untuk sekadar basa-basi. Ia tidak mau ambil pusing bagaimana menjawab pertanyaan yang satu itu. Karena ia sendiri pun tidak tahu jawabannya mengapa ia terpukau untuk pertama kalinya saat melihat Mr. Taylor.

Kepalanya bergerak secara otomatis dan tak diundang ke arah parkiran para guru yang berada di dalam lingkungan sekolah. Ia melihat mobil Mr. Taylor masih belum melaju. Emma menoleh lagi ke jalanan, merasa ada kelegaan bahwa Mr. Taylor belum pergi dari sekolah sebelum mereka berdua pulang.

Aneh.

Alex sibuk berjinjit-jinjit tak ada kerjaan, dengan malas matanya melihat orang-orang yang berlalu lalang dan begitu berisik.

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang