Lorong Self-Development Yang Memukul Realita

27 4 0
                                    

Effingham kehilangan Conan, begitu yang dirasakan murid tahun dua belas. Berita Conan yang pindah sekolah dan kawan-kawan se-gengnya yang bolos entah-karena-apa sampai ke telinga Emma dan Alex. Dua anak itu saling pandang saat anak kelas sejarah saling melempar asumsi ada yang sedang tidak beres pada angkatan senior tahun ini. Apalagi saat mereka menyebut-nyebut para guru sedang menutup kasus rahasia.

"Effingham tidak pernah sekacau ini," kata Katherine.

"Kenapa kau berpikir ada yang kacau?" tanya Edward, ia pura-pura tidak tahu apa yang terjadi. Ia curi-curi dengar saat ayahnya—Principal Grazer—mengeluh kepada istrinya di rumah.

"Dengar, salah satu biang kerok di kelas dua belas menghilang begitu saja. Dan angkatan mereka jadi sering mendapatkan banyak masalah," jawab Katherine.

"Bukankah setiap siswa senior memang sering membuat onar?" tanya Mac.

"Betul, tapi Effingham tidak pernah menghasilkan anak-anak seperti itu," Farrah ikut nimbrung.

"Aku jadi khawatir kita akan kena masalah saat tahun depan," Irene menimpali.

"Tidak akan jika kita menjaga diri." Edward menghentikan perbincangan itu. Ia agak khawatir dengan kondisi ayahnya yang nampak stress akhir-akhir ini. Ia tidak mau tahun angkatannya bernasib sama.

Alex membalikkan badan setelah puas menguping obrolan teman-temannya yang berada di bangku belakang. "Jadi penasaran," gumam Alex.

"Sama," sahut Emma. Mereka saling pandang lagi dan tertawa bersama.

~~~

Pulang sekolah, Alex kembali mengumpulkan tugas tambahan kepada Mr. William. Dia benar-benar berambisi bisa mengisi semua soal di buku latihan pengayaan matematika. Kali ini, dia sudah memecahkan tiga puluh soal pilihan ganda tentang binomial. Mr. William sudah tahu anak ini akan terus menghampirinya setiap Jum'at sore.

"Oke, mari kita lihat apakah hasilnya masih sama." Mr. William menegakkan tubuhnya dari kursinya, mengambil pulpen dan siap melihat jawaban Alex di bukunya.

"Emma tidak mau mencoba mengisi?" Mr. William bertanya pada Emma yang sedari tadi menatap Mr. Taylor di mejanya.

Emma menoleh dengan cepat. "Ah, tidak Sir," jawab Emma rendah diri.

Mr. William tersenyum sekilas, mengerti sepenuhnya bahwa Emma memiliki gangguan kecemasan dan math anxiety yang lumayan parah. Sang guru pernah menanyakan hal itu pada Miss Darin— selalu bimbingan konseling yang menyimpan setiap rahasia mentalitas siswanya. Mr. William tidak menyangka Emma memiliki keterbatasan karena kejadian traumatis di masa kecil. Sejak saat itu, Mr. William tak lagi penasaran mengapa Emma selalu gemetaran saat berada di kelas matematika hingga memutuskan untuk keluar dari sana.

Mr. William kini menceklis setiap nomor yang sudah Alex isi. Bukan hanya Alex yang menghampirinya, ada juga Sean yang baru sampai dan ia melirik Emma sesaat, tersenyum kaku.

Emma balas tersenyum, tapi tidak begitu lama karena Sean tampak enggan saling bertatap muka dengan gadis yang baru saja ia tembak beberapa hari yang lalu. Masih ada perasaan malu di dalam dirinya, dan itu wajar sekali.

Mr. William berbincang kepada Alex dan Sean soal rumus-rumus yang memusingkan. Emma hanya mendengarkan obrolan tentang angka-angka, dan itu membuatnya sedikit mual. Emma mengalihkan pandangannya kepada Mr. Taylor lagi, yang sedang mengetik-ngetik sibuk di depan laptopnya. Jarak antara meja Mr. William dan Mr. Taylor hanya berjarak beberapa meter—meja sang guru seni ada di dekat pintu dan berada di arah jam sepuluh dari tempat Emma berdiri.

Emma tidak bisa mengalihkan matanya dari guru berwajah khas itu—terlihat jelas sentuhan Prancis dan sedikit mengintimidasi. Beliau tampak serius dan tidak bergerak kecuali jari-jari yang lincah di atas keyboard.

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang