Tidak ada yang bisa dilakukan Lili selain gemetar ketika Taylor pergi meninggalkannya. Lelaki itu menjauh dengan mobilnya, menyisakan sosok Lili di sisi jembatan jalan raya. Wanita itu masuk ke mobilnya dan menunduk di atas stir. Saat ia menengadah, matanya sudah berkaca-kaca.
Ucapan Taylor, setiap kata yang dilontarkannya seolah berhasil menekan batinnya. Jari telunjuk yang mengarah kepadanya, dan gemerutuk gigi penuh amarah masih nampak jelas di kepala Lili.
Wanita itu memastikan tidak ada kendaraan yang terhalangi karena mobilnya berhenti. Setelah itu, ia menunduk lagi dan membayangkan percakapan tadi—ia takut sudah salah mengatakan sesuatu kepada Taylor.
"Untuk apa dia datang ke sekolah?"
Lili diam.
"Untuk apa?!" bentak Taylor membuat Lili tersentak.
"Aku tidak ta—"
"Jangan sekali-kali membohongiku," gertak Taylor. "Kau pasti tahu alasannya."
"Laura tahu tentang Emma. Dia ingin melihat anak itu."
Tentu saja, jawaban Lili tadi membuat Taylor sangat khawatir. Kekhawatiran itu ia luapkan melalui murka yang tidak tertebak.
Taylor mengepalkan tangannya. "Aku percaya kau ikut bersekongkol dengannya."
"Aku tidak ikut! Itu urusan Laura dan teman-temannya!" jawab Lili.
Taylor tersenyum sinis. "Percaya apa aku? Bukankah kau juga salah satu dari mereka?"
Akhirnya Taylor meminta penjelasan. Berulang kali Lili mencoba berbohong, tetapi Taylor berulang kali pula memojokannya dengan kata, 'Jangan berbohong. Kau seorang guru'. Akhirnya Lili bungkam dibuatnya. Mau tak mau, Lili mengatakan yang sebenarnya, bahwa Laura tahu Taylor mendekati seorang murid di kelas seni. Laura ingin membuktikan apakah gadis yang Taylor incar itu lebih baik dari dirinya atau tidak.
Tentu saja di satu sisi ucapan Lili membuat Taylor tersentak hebat, sejelas itukah kedekatannya dengan Emma?
Terkaan Taylor soal Lili yang memerhatikan gerak-geriknya jika sedang bersama Emma benar adanya. Ia tak terkejut, tapi ia lebih lebih mengkhawatirkan keselamatan Emma. Ia sangat tahu bagaimana sifat Laura dan kenekatan teman-temannya.
"Aku ingatkan kau." Pada saat itu, Taylor mengangkat telunjuknya tepat di depan wajah Lili. "Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Emma..."
Lili mulai gemetaran.
"Aku tidak akan pernah memaafkanmu."
~~~
Alex berjalan-jalan santai di atas karpet besar di ruang tengah. Ia terus mengeraskan suaranya selagi membaca semua catatan bertinta ular di bukunya.
"Awalnya, pasukan Inggris berhasil mengalahkan tentara Amerika Serikat pada Perang Bla..." Buku catatan sejarah itu didekatkannya tepat beberapa senti di depan mata. "Bla..." Alex berjongkok dan menunjuk satu kata yang ia tak mengerti.
"Bla apa ini, Emma?"
Emma pun tak yakin. Ia membaca catatannya yang tulisannya jauh lebih rapih. "Bladensburg."
"Owh..." Alex kembali berdiri dan menghafal. Emma duduk bersila di atas karpet. Ada bantal yang membuat kedua lengannya terasa lebih rileks di atas kakinya.
Robert yang sedang bermain ponsel di sofa tak jauh dari sana merasa sedih sekaligus senang. Melihat dua adiknya yang kini sudah tumbuh dewasa, namun anak rumahan mereka masih sangat melekat. Namun, ia sering merasa khawatir tentang pergaulan Alex dan Emma di sekolah. Apalagi saat SMA, Robert tahu sekali bagaimana anak remaja meluapkan pubertas mereka dengan berani.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAUTE VALUER [COMPLETED]
General Fiction🎨WAKE ME UP WHEN I SLEEP 2 🎨 Seorang guru seni lama bernama Mr. Taylor yang baru saja menyelesaikan studi strata duanya kini datang untuk mengajar kembali. Kehadirannya sangat membawa keuntungan bagi sekolah. Salah satunya membuka kembali Klub Tea...