Dua Pesan

19 4 0
                                    

Hari-hari Emma dan Alex seketika menimbulkan secercah mentari kesenangan yang nyata. Semakin sini, Emma semakin jarang mendengar berita-berita negatif tentang dirinya. Ia merasa ada banyak kawan yang nampak ingin berteman dengannya. Semua terasa berubah semenjak Emma menyampaikan pidato di seminar Mr. Oswald kala itu.

Alangkah baiknya Tuhan, mengabulkan permohonan Emma tentang perlakuan teman-temannya. Begitupun dengan Alex yang mulai menjadi anak lelaki bergaul dan disenangi. Emma mulai menutup mata, telinga dan hati dari bisikan negatif tentang pandangan orang-orang kepada dirinya. Ia mulai berhenti ketakutan, atau berprasangka bahwa teman-temannya memiliki prasangka buruk kepadanya.

Nyatanya, saat ia membuka pikirannya lebar-lebar, Emma bisa merasakan setiap ia melewati satu kerumunan, mereka semua tersenyum ramah kepadanya. Adik-adik kelas selalu menyapanya, beberapa bahkan melambai sambil tersipu. Emma tak mau tahu apa yang mereka bicarakan setelah berpapasan dengannya. Emma tidak mau berpikir negatif tentang orang-orang. Ia bukan orang yang memiliki sikap yang buruk, hal itu sedikit menenangkannya.

Sementara perempuan-perempuan dari kelas senior tidaklah separah itu saat melemparkan tatapan kepadanya. Semua ini terasa lebih ringan. Orang-orang begitu baik bahkan hanya sekadar menyunggingkan senyum di koridor-koridor sekolah.

Meskipun begitu, Emma tetap sendiri. Ia pun tidak terlalu memusingkan tidak memiliki teman curhat abadi selama di sekolah. Seperti Farrah yang selalu menceritakan segala hal kepada Irene. Atau Katherine bersama gengnya yang lain yang ke kantin bergerombolan dan berfoto bersama.

Emma berusaha nyaman atas kesendirian--atau kemandirian dirinya di sekolah. Walau lebih sering berharap Alex akan menghampirinya dan pergi bersama. Tapi kini itu tidak akan terjadi lagi.

Emma kini memeluk novelnya di sisi lapangan. Matanya tak lepas dari teman-temannya yang tengah berlatih cheerleader. Mereka tampak kompak dan bahagia saat melompat dan mengangkat kedua tangannya.

TING!

Ponsel Emma berbunyi, ia pun mengeluarkan benda kotak itu dari sakunya.

Mr. Taylor Class of Art
Sabtu nanti akan ada bazar buku di pusat kota.
Kau mau ikut?

Emma terhenyak, entah kenapa pesan itu membuat darahnya berdesir deras di dalam nadinya. Setelah sekian lama, Mr. Taylor tidak pernah mengirim pesan apapun semenjak pameran lalu.

Emma diam, ia menatap kosong ponselnya. Tak lama, Mr. Taylor mengirim pesan lagi.

Mr. Taylor Class of Art
😊

Emma mengetik. Ia memang sudah berencana pergi ke bazar itu.

Siapa saja yang ikut, Sir?

Mr. Taylor langsung membalas.

Mr. Taylor Class of Art
Hanya kau dan aku.

Emma ragu untuk menerima ajakan itu, tapi di sisi lain ia tidak enak untuk menolaknya. Emma memikirkan alasan agar tidak ikut, tapi ia tidak menemukan satu kegiatan apapun di hari Sabtu.

Bolehkah aku mengajak Alex?

Mr. Taylor Class of Art
Boleh, kok.
Ajak saja biar seru.

Oke, Sir

Mr. Taylor Class of Art
Nanti aku akan menghubungimu lagi.
Terima kasih, ya 🙏🏻

Sama-sama, Sir 🙏🏻

"Hey! Lagi chattingan dengan siapa?" Alex menepuk pundak Emma, membuatnya menoleh kaget. Alex datang bergerombolan, empat temannya yang lain duduk mengelilingi Emma, ikut menonton anggota cheerleader berlatih. Alex pun meminta temannya bergeser dan mengingatkannya agar tidak terlalu dekat Emma.

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang