Emma tidak bisa tidur meskipun demamnya sudah mulai pulih. Tengah malam ia terbangun di kamar Alex yang hanya menampakkan suasana yang temaram. Emma duduk, ia mencondongkan tubuh ke bawah ranjang untuk melihat Alex yang tidur di atas kasur kecil.
Emma melirik pintu, ia malas keluar kamar. Tapi, ia ingin memeluk boneka kelincinya. Ia tidak bisa tidur tanpa benda mungil itu.
Gadis itu pun keluar kamar. Terlihat ruang tengah yang luas namun TV masih menyala. Emma celingukan, tak ada orang di sana.
Ia berjalan ke sana dan duduk di sofa. Mengambil remote dan memindahkan saluran secara asal.
"Kenapa tidak tidur?" Emma terhenyak, Miller baru saja mengambil soda dari kulkas dan Emma tidak menyadarinya.
"Aku baru bangun," jawab Emma. Miller tersenyum tipis dan duduk di sebelah Emma yang agak menyesal kenapa ia tidak langsung ke kamar saja. Tapi, rasa takut itu terpatahkan saat Miller menyentuh dahinya.
"Sudah mendingan. Syukurlah..." ucap Miller. Emma hanya bisa tersenyum meresponnya. Ia memainkan jempolnya ketika Miller mengembalikan siaran TV ke asal, dimana pertandingan bola baru saja dimulai. Emma memikirkan topik pembicaraan. Soal sekolah, teman-teman atau belajarnya. Tapi ia takut tak ada obrolan yang membuat Miller tertarik.
Miller pun berpikir keras untuk mencari bahan perbincangan. Sayang, ia tidak tahu harus mengucapkan hal apa.
Separah ini 'kah jarakku dengan Emma? batin Miller tersayat. Sampai-sampai, berbasa-basi saja tidak bisa.
"Miller, aku izin ke kamar ya..."
Emma hendak berdiri namun tubuhnya ditahan oleh tangan Miller. "Sini, Nak..."
Begitu lembut nada suara Miller. Membuat Emma mendapatkan sentuhan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Emma pun merebahkan lagi dirinya di sofa, menunggu Miller mengatakan sesuatu. "Mau jalan-jalan?"
Emma melebarkan kelopak matanya, begitu terlihat jelas sangat gembira. "Mauu!!" angguknya cepat.
"Tapi janji besok pagi kau harus sehat," Miller mengangkat telunjuknya.
"Aku janji!" Emma mengangkat kelingkingnya yang mungil. Untuk sesaat Miller bingung harus bagaimana. Emma menggoyangkan kelingkingnya lagi, barulah Miller sadar bahwa kelingking mereka harus bertautan sekarang juga.
Tangan mereka, untuk waktu yang sangat lama, saling bertaut. Menghubungkan koneksi aliran darah yang berada di balik kulit setiap tangan. Miller ingin sekali berteriak saat itu juga. Kemana saja ia, sampai Emma mengajak salam jari kelingking saja ia terkesan sebegitunya.
Emma melihat wajah tampan itu. Yang begitu muda dan dewasa. "Kau tampan, Miller..." ucapan itu mengalir begitu saja dari lidahnya. Emma sempat tersipu karena keceplosan, walau Miller tidak keberatan sama sekali.
Miller terkekeh geli untuk pertama kalinya sejak berbulan-bulan, menatap permata hatinya dengan penuh kasih sayang. "Kita pergi Sabtu ini ya.."
Emma terpaku, ia berpikir sesaat. "Hmm..."
"Kenapa? Ada kegiatan sekolah?" tanya Miller.
Emma berharap Alex bangun dan bergabung dengannya sekarang. Tapi nihil, Alex sudah terlelap jauh ke alam mimpinya.
"Sabtu nanti aku akan pergi ke bazar di pusat kota," kata Emma. "Bersama Alex dan.."
"Dan siapa?" Miller tampak penasaran sekali.
"Mr. Taylor..." jawab Emma dengan gumaman takut. Keramahan di wajah Miller mengendur, digantikan dengan raut yang luar biasa tegang.
Emma menggenggam tangannya sendiri, takut Miller memarahinya. "Ka-kalau ... k-kau tidak mengizinkan.. ak.. aku.. tidak.. tidak akan pergi..." Emma mulai cemas akan ditampar lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAUTE VALUER [COMPLETED]
General Fiction🎨WAKE ME UP WHEN I SLEEP 2 🎨 Seorang guru seni lama bernama Mr. Taylor yang baru saja menyelesaikan studi strata duanya kini datang untuk mengajar kembali. Kehadirannya sangat membawa keuntungan bagi sekolah. Salah satunya membuka kembali Klub Tea...