Soal Katherine

22 10 0
                                    

"Aku sekarang merasa sangat tak enak sama Katherine. Aku tahu banget dia sangat memimpikan untuk menjadi aktris terkenal. Aku jadi ingat, Katherine pernah bilang jika di Effingham ada teater, ia pasti akan memerankan peran utamanya. Tapi sekarang entah bagaimana aku seolah merebut haknya. Aku menyesal ikut casting, Alex." Emma memeluk kedua lututnya. Bibir bawahnya sedikit bergetar ketika menceritakan semuanya. Alex yang sedang memakan cookies berhenti mengunyah. Ia meminum jus tomatnya dan duduk mendekati Emma yang wajahnya berkerut khawatir.

Alex berdeham dan berkata, "Aku tahu kau pasti merasa cemas soal ini. Tapi, tidakkah kau ingat bahwa Belle memanglah takdirmu. Tuhan yang sudah mengaturnya, 'kan?"

"Ya, aku tahu. Aku paham soal itu. Tapi yang aku rasakan ini rasa bersalah. Ugh!" Emma membenamkan wajahnya di kedua lututnya.

Alex semakin berpikir. "Coba aku lihat chat yang tadi."

Emma menyerahkan ponselnya, Alex membaca ulang chat yang sebenarnya sudah Emma bacakan tadi.

Emma menyerahkan ponselnya, Alex membaca ulang chat yang sebenarnya sudah Emma bacakan tadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alex mendengus setelah membacanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Alex mendengus setelah membacanya.

"Sialan! Pantas saja dia cantik tapi tidak menarik," komen Alex gusar. "Dia lemah, Emma. Bahkan untuk menjawab pesanmu saja ia kehabisan kata-kata."

"Aku berharap dia sadar dengan ucapanku. Tapi, yang aku takutkan esok adalah ia mulai menghasut yang lainnya untuk membenciku. Sama seperti yang Edward lakukan," ujar Emma khawatir. "Dengar, aku tidak memikirkan reputasi apa pun. Aku paling benci sifat narsisme dimana orang-orang harus melulu memujiku. Aku benci itu. Aku tidak mau memenuhi ekspetasi orang lain padaku. Kau pasti mengerti posisiku sekarang. Kau tahu masa laluku, Alex. Alasan kenapa aku pindah ke Effingham dan sebagainya. Aku senang memiliki teman. Apalagi murid yang lebih lama seperti Farrah dan yang lainnya. Kukira mereka adalah murid lama yang tak memandang si murid baru yang penyendiri--aku waktu itu. Ternyata, sama saja. Aku merasa kecewa. Kukira mereka akan terus berteman denganku. Ernest pernah berkata--"

"Apa?" tanya Alex. Emma hendak mengentikan ucapannya namun Alex sudah duluan menyadarinya.

"Aku parasit di pertemanan mereka."

Alex mulai tersulut emosi. Ia memukul ranjang di sebelah tubuh Emma yang terlonjak karenanya.

"Maaf, Emma. Aku tidak bisa menahan kepalannya," kata Alex kemudian.

Emma mengangguk pelan. "Tak apa."

"Jadi, apa yang akan kau lakukan?" tanya Alex. Ia belum bisa memberikan solusi apa pun. Karena mereka berdua sama-sama bingung.

"Aku akan mengundurkan diri." Jawaban Emma membuat dahi Alex mengerut.

"Apa?! Kau serius? Belle sudah menjadi takdirmu! Sudah terima saja! Ini kesempatanmu, Emma!" seru Alex tak henti. "Coba pikirkan lagi bagaimana hebatnya kau tampil di acara drama Effingham--menjadi pemeran utama! Belle, Emma! Belle!"

"Tentu aku akan sangat bahagia bila berhasil membawakan pentas drama itu. Tapi apa untungnya jika aku tak merasa lebih baik setelahnya?" Emma memberikan penjelasan.

"Kau jangan terlalu baik. Jangan pikirkan Katherine. Sudah biarkan saja. Toh dia sudah memainkan film-film pendek," jawab Alex tak mau kalah.

"Aku memang mempercayai Katherine bisa mendapatkan yang lebih dari drama musikal ini. Tapi, jika pertemananku semakin hancur ketika menjadi Belle, apa untungnya bagiku, Alex?" Emma tampak berat memperhitungkannya.

Alex diam, membiarkan Emma menyelesaikan ucapannya.

"Harapanku Edward bisa menemukan gadis yang bisa mencintainya apa adanya. Aku ingin ada seseorang di luar sana yang mengejar Edward sehingga dia bisa melupakanku. Jujur saja, selama ini aku agak menderita. Aku dihantui rasa bersalah untuk Edward yang terus dihancurkan harapannya--"

"Tapi perasaan tidak bisa dipaksakan, Emma!" potong Alex.

"Aku tahu!" balas Emma. "Aku tidak bermaksud untuk terlalu berlebihan memikirkan perjuangan Edward padahal aku pun di sini menjadi orang yang dirugikan. Jika bisa menyalahkan, hubunganku dengan Tom kandas karena perjuangan Edward yang terus menerus gencar kepadaku. Tapi lihatlah sekarang ujungnya seperti apa. Aku tetap tidak bisa mencintai Edward begitu saja. Aku pun dihantui rasa bersalahku pada Tom. Dan sekarang..." Emma menahan diri untuk tidak menangis walau suaranya sudah tersedu. "Ada seorang perempuan yang mencintai Edward--mendambakannya. Menurutku, pentas drama ini adalah kesempatan bagi Katherine dan Edward untuk lebih dekat satu sama lain. Aku ingin Edward lebih peka terhadap Katherine yang jelas-jelas menyukainya. Aku tak ingin Edward terus mengharapkanku berulang kali. Aku tak ingin ia semakin tersiksa jika aku harus menjadi Belle sedangkan ia menjadi pangerannya."

Hening sejenak, hanya ada suara sesegukan Emma yang tertahan.

"Apa... Kau yakin, Emma?" tanya Alex berhati-hati.

Emma menganggukkan kepala cepat. "Aku sangat yakin untuk ini. Belle barangkali memang takdirku. Tetapi, aku yakin takdir masih bisa diubah menjadi lebih baik. Aku tak mau banyak orang yang sakit hati di bawah kegembiraanku memerankan Belle."

Alex menghela nafas mendengarnya. Alex sangat menyayangkan keputusan Emma untuk saat ini. Tapi di sisi lain, ia pun setuju jika Emma mengundurkan diri dari drama itu. Karena sebagai seorang kakak lelaki, ia pun tak senang bila Emma berada dekat-dekat Edward. Alex masih dipenuhi rasa cemas terhadap lelaki yang satu itu. Entahlah. Tak ada kepercayaan sedikit pun bagi Edward. Tak ada respect sebesar kepada Tom.

"Jadi, kapan kau akan mengundurkan diri?" tanya Alex lagi.

"Lusa, ketika latihan aku akan memberitahu Mr. Taylor. Untung saja masih ada satu hari lagi untukku memikirkan alasannya," kata Emma.

Alex mengangguk. "Ya, Emma. Jika ini keputusanmu, aku ikut saja. Lebih cepat lebih baik."

Emma pun ikut mengangguk. Alex menyentuh puncak kepala Emma dan mencium dahinya.

"Untung saja baru dua kali latihan. Jadi, Mr. Taylor tidak berharap terlalu banyak kepadamu," ucap Alex mengakhiri perbincangan malam itu.

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang