Pintu kamar tertutup. Alex menatap punggungnya di depan cermin. Ia berbalik dan melihat cakaran merah di bahu belakangnya. Alex menghela nafas. Luka ini terasa perih ketika mandi tadi. Ia juga menunduk untuk melihat kakinya yang memakai celana pendek. Tampak lututnya berwarna hijau keunguan. Terasa linu bila digerakkan.
Ia pun memakai bajunya lagi dan mengambil es batu yang ia taruh dalam plastik putih di meja belajarnya. Ia simpan kompresan dingin itu di lututnya. Alex meringis, menahan sakit yang terasa menjalar ke sekujur tubuhnya.
Ia terus mengompres dalam diam. Memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya, dan bagaimana ia harus bertindak. Baru kali ini ia dihadapkan persoalan semacam ini. Alex sedikit kecewa dengan dunia luar. Ternyata tak lebih manis dari yang ia bayangkan. Bahkan, pendapatnya mengatakan bahwa orang-orang di luar sana begitu kejam. Dan sayangnya, ia masih merasa belum menemukan malaikat-malaikat yang berperilaku baik kepadanya. Mereka masih bersembunyi, atau tetap tak akan muncul sebagai teman mereka.
Mata Alex berkaca-kaca. Tak pernah ia merasa sesedih ini. Ia kira, Effingham School akan memberikannya masa terindah sebagai remaja. Namun nyatanya, orang-orang mendekat hanya karena Alex memiliki keahlian dalam sebuah pelajaran. Lalu mereka pergi dan tidak mau bergaul dengannya.
Setetes air mata mendarat di pahanya. Alex memikirkan nasib Emma yang sejak dulu tidak pernah merasa baik-baik saja di tempat bernama sekolah. Dimana seharusnya ia mendapatkan perlakuan manis atas keistimewaannya sendiri. Emma begitu sempurna dan spesial. Namun, entah mengapa Grand Public School seolah tak menerimanya. Ia disanjung oleh guru, tetapi tidak diterima oleh teman-teman sebayanya. Begitupun ketika masuk Effingham. Alex memang menyaksikan seorang Emma yang begitu ceria berjalan di koridor sekolah. Adik perempuan satu-satunya itu sering mengajak ngobrol teman-teman di sebelahnya, tetapi tidak diajak menimbrung untuk mengobrolkan sesuatu yang santai. Alex memerhatikan bahwa Emma tampak berjuang untuk mendekati teman-temannya di Effingham. Mungkin saja kondisi sekolah tersebut lebih baik dari Grand Public School. Namun tak dapat dipungkiri, Emma mendapatkan perlakuan sama dari teman-temannya; dijauhi, karena mereka merasa rendah diri bila berada di dekat Emma.
Alex kini sepenuhnya mengerti, bahwa kesempurnaan yang Emma miliki bukanlah tolak ukur memiliki banyak teman. Padahal, kepribadiannya yang ceria bisa menunjang semua itu.
Alex selalu membayangkan seorang yang menjadi idola sekolah, digandrungi banyak teman, disenangi semua orang, akan berlaku kepadanya yang sering menonjol dalam hal akademik. Alex tidak pernah merasa membuat onar dengan sengaja di sekolah. Alex bukanlah anak yang berperilaku buruk, bahkan ia cenderung lebih menjaga diri dan mengontrol dari teman-temannya. Tapi, tetap saja, mereka seolah menjauhinya tanpa Alex dan Emma pernah melakukan kesalahan.
Alex mulai berintrospeksi diri.
Emma yang pandai bersosialisasi saja masih dijauhi. Sedangkan aku? Apakah karena bertahun-tahun aku homeschooling, kemampuan sosialku jauh lebih rendah darinya?
Bisa jadi. Ini tahun pertamaku masuk sekolah yang terdiri dari banyak sekali siswa. Aku harus menyesuaikan diri, tapi tak sulit bagiku untuk beradaptasi secepat itu.
Tapi...
Pikiran Alex berhenti sampai di situ. Kepalanya dipenuhi pertanyaan mengapa ia terasa tak punya teman, walau ketika di kelas ia sering diperebutkan oleh kelompok. Ia pun menyadari ini semua hanya formalitas belaka. Ia jadi tahu, teman yang asli memang sulit dicari. Ia kini merasakan, bahwa dunia luar bukan hanya menganggap dirinya spesial atau validasi dari kualitas yang dimiliki. Tapi, ini lebih dari itu. Ia membutuhkan seorang teman yang bisa diajak bercanda dan berbagi dari hati ke hati.
Alex menaruh plastik yang tak terasa sudah tinggal berisi air. Ia meluruskan lutut kirinya yang dingin. Soal pertemanan sangatlah penting baginya. Seorang Alex pun membutuhkan seorang pembela. Emma tetaplah adiknya yang harus ia lindungi. Tak mungkin Alex harus mengandalkan dirinya sendiri dan saudarinya. Alex tahu, Emma sebetulnya tidak sekuat itu menghadapi semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAUTE VALUER [COMPLETED]
Ficción General🎨WAKE ME UP WHEN I SLEEP 2 🎨 Seorang guru seni lama bernama Mr. Taylor yang baru saja menyelesaikan studi strata duanya kini datang untuk mengajar kembali. Kehadirannya sangat membawa keuntungan bagi sekolah. Salah satunya membuka kembali Klub Tea...