Pengganti?

22 6 0
                                    

Alex dan Emma berbaring di atas karpet kamar Emma, dengan bungkusan camilan yang berserakan dimana-mana.

"Kenapa harus kita?" tanya Alex kesekian kalinya, mulutnya tak berhenti mengunyah keripik kentang miliknya.

Emma mengerjap-ngerjap. Matanya agak berat karena sudah banyak menangis. "Tuhan mempercayai kita."

"Padahal kita tidak melakukan hal-hal jahat kepada mereka, lho!" Alex berujar. Dahinya mengernyit begitu rapat. Ia heran setengah mati kenapa Conan masih saja menganggu mereka. Padahal alangkah lebih baiknya jika mereka fokus mempersiapkan pendidikan lanjutan saja.

Emma menoleh pada Alex. "Aku juga tak mengerti kenapa kita harus bertemu mereka di pemakaman. Tapi kau lihatkah senior laki-laki yang memakai kacamata hitam itu? Setahuku dia baru saja kehilangan neneknya minggu lalu."

"Bagaimana kau tahu?"

Emma menggerakkan kepalanya lagi untuk menatap langit-langit kamar. "Perempuan selalu punya cara untuk mendapatkan info yang mereka butuhkan."

"Aku salut," kata Alex lalu menggerakkan tubuhnya karena pegal.

"Aku tahu cara agar mereka berhenti menganggu kita--termasuk karena alasan sedang ingin main-main saja seperti siang tadi," ujar Emma.

"Benarkah? Bagaimana caranya?" tanyanya antusias.

"Sabar dan biarkan mereka melakukan apa yang mereka mau pada kita," jawab Emma jujur.

Alex mengernyit lagi. "Itu saja? Tidak lemahkah yang begitu?"

Emma menggeleng. "Kita tidak punya salah kepada mereka, 'kan? Ya sudah. Toh kita sudah mencoba melawan juga. Nanti mereka akan cape sendiri."

Alex perlahan tersenyum dan melipat bungkusan keripiknya.

"Kau tahu apa yang lebih menyenangkan?"

"Apa?"

"Menunggu balasan Tuhan untuk mereka," kata Alex lalu menoleh dan melipat kedua tangannya. Ia nyengir lebar, seperti sudah melakukan hal yang memuaskan. "Saat di gereja, aku meminta Tuhan melakukan sesuatu yang sepadan."

Emma mengangkat sebelah alisnya. "Tidak meminta yang jahat-jahat, 'kan?"

Alex menggeleng pelan, masih tersenyum. "Tidak, dong. Aku tidak mau membalas keburukan dengan keburukan."

Emma salut mendengarnya. "Kau hebat."

"Hehe, terima kasih!" ucap Alex.

Mereka sama-sama terdiam, memikirkan apa yang akan terjadi esok hari.

"By the way, Emma," ucap Alex, tubuhnya bergerak untuk duduk. 

"Yap?" sahut Emma.

"Kau tidak penasaran, gitu, dengan Mr. Taylor?" Alex melirik Emma, memancing-mancing.

"Dia guruku, Alex. Tak mungkin aku jatuh hati padanya," jawab Emma.

"Tapi banyak tahu guru dan murid yang menikah."

"Apa?!" Emma terduduk. "Alex--ya Tuhan bahasamu!"

"Hahahaha. Serius sekali. Kenapa harus panik?"

"Ya memangnya kenapa kau kekeh sekali, sih, Mr. Taylor suka padaku," protes Emma. "Dengar, Alex. Hey! Alex!" Emma menarik tangan Alex agar berhenti berjoget-joget  seperti orang tidak waras.

Setelah Alex siap mendengarkan, Emma menghela nafas dan berkata dengan serius. "Dia seumuran dengan Albert."

Alex menyipit. "Sudah? Itu saja alasannya?"

"Dia guruku," lanjut Emma.

"Ya, terus? Apa salahnya? Aku yakin jika kamu mau sama dia, dia akan menunggumu sampai kuliah."

"Astaga Tuhaaaan!" Emma memegangi kepalanya mendengar karangan Alex. "Kau buat Wattpad saja, deh!"

Alex tertawa terbahak-bahak. "Aku kalau ngomong tidak pernah mengada-ada, ya. Aku semakin yakin dia suka padamu saat di kelas tambahan tadi. Buktinya--Emma! Dengerin aku, woi!" Kini giliran Alex yang menarik kedua tangan Emma yang menutup telinganya, enggan mendengar Alex bicara.

"Gak!"

"Dengerin dulu!"

"Enggak mau!"

"MR. TAYLOR BERTANYA PADAKU APA KAU DAN TOM PACARAN ATAU TIDAK!"

Emma terdiam menatap Alex. "Yang benar?"

"Tidak. Eh--tapi tapi dia memang bertanya begitu, kok!"

"Oke, ceritakan."

Alex bercerita soal dirinya yang didatangi Mr. Taylor di gerbang kemarin sore.

"Begitu," katanya mengakhiri.

"Ish." Emma mendelik. "Itu hanya kebetulan saja, Alex. Cuman basa-basi."

"Eh, tidak begitu! Dia bertanya seolah memang itu kesempatannya untuk tahu! Kau mengerti, 'kan apa maksudku?" Alex mulai gemas. Kenapa Emma terus menolak fakta ini?

Sedangkan Emma mulai bertanya-tanya dalam hati. Semua gerak-gerik Mr. Taylor memang agak berbeda dengan guru laki-lakinya yang lain. Hanya saja, Emma tidak mau berasumsi.

"Hmmm Alex," gumam Emma, ragu untuk mengatakan sesuatu.

"Apa? Sudah percaya?"

"Bukan," sanggah Emma. "Sebenarnya... Waktu kau muntah-muntah itu, aku terlambat ke sekolah--"

"Aku sudah tahu," potong Alex.

"Dengarkan dulu, Lexi!" seru Emma berang. Alex hanya menutup mulut menahan tawa. Menyebalkan!

"Oke lanjutkan," kata Alex.

Emma diam untuk beberapa detik, agak canggung menceritakan hal ini. "Saat itu Mr. Taylor juga terlambat datang. Nah, sebelum Pak Satpam membukakan pintu untuknya--"

"Itu tidak adil!"

"BUKAN ITU MASALAHNYA!" gertak Emma. "Mr. Taylor mengetahui aku terjebak di luar gerbang. Dan dia..."

Alex mengangkat kedua alisnya, menunggu kabar baik yang akan ia dengar. "....Mengusap kepalaku sebelum melewati gerbangnya."

Alex mengangkat tangan, Emma merapatkan giginya untuk melihat reaksi Alex.

"LIKE WHAT I SAID!" seru Alex bangga, lalu ia menempelkan kedua telapak tangannya ke pipi Emma--agak keras. "Kau tahu ini pertanda apa?" tanya Alex misterius dan girang.

"Apwa?" tanya Emma selagi pipinya tertekan tangan Alex.

"Itu artinya, Tuhan sudah menyiapkan pengganti yang lebih baik untukmu!"

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang