Two Sides of Hope

27 6 0
                                    

Hari ini, Emma lebih banyak diam di sekolah. Ia tengah menikmati perasaan tak menentunya soal penyakitnya. Jantungnya terus berdetak tidak normal, anehnya tidak merasa lebih baik setelah menjalani terapi fisik tambahan di klinik jantung Howard.

Apa yang salah denganku?
Tiba-tiba saja, kenangan buruk menyerangnya.

"Kau anak pembawa sial!" Ucapan itu menjadi sugesti permanen di kepalanya. Sering ia bertanya-tanya, penyakitku memang takdir atau karena kutukan yang diucapkan Miller saat dulu?

Emma mendengus sambil mengusap wajahnya. Anak pembawa sial.... Sejak dulu ia memang memiliki fisik yang tak sesehat Alex. Ia tak tahu kenapa.

Kau ini ujian bagi keluarga kita, ujar kepalanya.

"Sudah, sudah..." gumam Emma kewalahan, menekan pelipis dengan telunjuknya.

Ia mendongak melihat matahari yang menghangat di rerumputan sekolah. Karena silau, ia pun menunduk lagi dan melihat tugas biologinya masih belum selesai. Pulpennya pun bergerak untuk menggambar struktur tanaman. Suara gaduh rerombongan kelas 10 membuat fokusnya teralih.

Dilihatnya Mr. Taylor yang membawa sekelompok anak menuju outdoor class bermeter-meter dari tempat Emma duduk. Matanya tak lepas dari guru berdarah Prancis-Inggris yang dengan semangatnya menyuruh anak-anak untuk duduk di bangku pohon di sekelilingnya.

Emma menelan ludah dan pura-pura tidak mendengarkan setiap kata yang Taylor ajarkan kepada anak-anak kelas 10 yang antusias itu. Ia mengerjakan tugas lagi walau telinganya bisa menangkap Taylor mengatakan sesuatu tentang ukiran kayu.

Entah kenapa, Emma menikmati suasana ini. Surya yang tak terik, cerah dan lingkungan yang lebih berwarna--rumput lebih hijau, benar-benar kerasan. Ia sangat tidak berharap salah satu teman sekelasnya memanggilnya. Karena Emma merasa ia ingin terus berada di sana, agar Mr. Taylor tahu ia duduk sambil mengerjakan tugas.

Emma melebarkan matanya, lalu perlahan menoleh pada Taylor sedikit penasaran apakah gurunya itu sedang menatapnya atau tidak.

Emma menggeleng cepat, lalu khawatir ada orang yang melihat gerak-gerik anehnya seperti itu.

Damn, Emma! Kau harus pindah dari sini!

Emma berdiri sekaligus. Ia tak sadar Mr. Taylor terus menatapnya melangkah menjauhi rumput. Taylor terserang perasaan aneh yang sedikit tidak enak saat tahu Emma menyingkir dari pandangannya.

"Mr. Taylor." Panggil salah seorang anak berkulit cokelat yang mengangkat tangannya.

"Ya, Johnny?" Taylor pun mulai berkonsentrasi untuk menjawab pertanyaan anak didiknya.

~~~

Alex menarik rambut Emma untuk menahannya pergi. "Mau kemana lagi, sih?"

Tangan Emma menyingkirkan tangan Alex yang menggenggam erat bagian belakang rambutnya. "Aku harus menemui Mr. Taylor untuk membicarakan soal pameran besok," kata Emma.

Alex mengangguk-ngangguk cepat. "Oh, silahkan. Pergi, sana! Siapkan yang terbaik. Sana, sana!" Alex tanpa basa-basi mendorong Emma menjauh, lalu mengundang kikikan dari teman-temannya.

Tak terasa, ia sudah ada di depan kelas seni. Ia mengepalkan tangan untuk mengetuk pintu kelas yang tertutup, namun tiba-tiba Mr. Taylor sudah membukanya terlebih dahulu.

"Kau datang," ujar Taylor.

Emma hanya tersenyum dan masuk ke dalam kelas. Ia sudah membawa sebuah pulpen dan buku tulis.

"Sepertinya kita tidak usah bimbingan lagi. Kurasa kau sudah mantap untuk menjalani wawancara. Kemarin itu cukup memuaskan," Taylor duduk di bangkunya, sementara Emma menghempaskan tubuh diseberang meja.

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang