Tantangan Seorang Guru

22 5 0
                                    

Ruang kelas biologi pada jam pertama adalah pemandangan paling indah yang Emma lihat selama tiga hari terakhir. Berada di rumah begitu membosankan, dan walaupun ia tidak memiliki banyak teman dekat di sekolah, namun para guru yang selalu ramah membuat sekolah tetap menjadi tempat yang baik baginya.

Semua itu dilakukan selama satu hari--musim test, praktek, presentasi dan tugas-tugas yang memberatkan. Emma bersyukur banyak tugas yang tidak memerlukan kelompok karena ia bukanlah tipe senang mengerjakan satu hal bersama-sama. Ia selalu ingin fokus melaksanakan kewajibannya sendirian.

Itu sangat tak masalah. Ia tidak menghindari kawan-kawannya. Tapi, merekalah yang menjauhkan diri dengan rendah hati dari Emma. Sejauh ini, hanya Karina yang tidak segan memuji gadis itu secara langsung. Ingin berbaur, padahal jika dilihat dari prestasi, Karina bukanlah murid yang berada di peringkat tertinggi sekolah. Dengan semua kesederhanaan dan apa adanya ia, Karina menjadi seseorang yang menarik di mata Emma. Sementara itu, Karina tidak canggung dengan semua keistimewaan yang Emma miliki. Insecure saja tidak. Memang hebat pertahanan diri seorang Karina. Ia tidak berniat memanfaatkan, apalagi berbuat jahat. Karina adalah Karina. Yang menjadi sumber keyakinan Emma bahwa teman yang baik masih ada, secara khusus dikirimkan Tuhan untuknya.

Hati Emma begitu gembira. Padahal, kegiatan sekolah masih monoton dan produktif seperti biasanya. Jam pelajaran terakhir ditandai dengan bel dengan pengumuman bahwa seluruh murid sudah boleh pulang. Semua berbahagia, karena hari yang berat itu segera berakhir.

Emma memasukkan buku ke dalam tas. Ia menghampiri lokernya dan mengambil sebuah kotak bercorak marble berwarna biru. Terlihat begitu indah.

Emma pun berjalan sambil menikmati semua pemandangan di sekitarnya. Toh, ia tak tahu sampai kapan bisa berada di sini.

Baru kali ini, Emma senang saat melihat orang-orang melangkah berlawanan arah. Padahal mereka memakai seragam yang sebagian sudah kusut, wajah sumringah karena akan menikmati akhir pekan--dan Emma pun teringat bahwa esok hari bazar akan diadakan. Miller ingin Mr. Taylor meminta izin padanya secara langsung soal rencana pergi bersama Emma dan Alex.

Senyum di wajah Emma masih mengembang, namun tidak terlalu mencolok. Ia memikirkan bagaimana caranya menyampaikan hal itu pada Mr. Taylor.

Apa aku harus membatalkannya saja?

Barangkali itu ide yang bagus. Karena setelah dipikir-pikir, bagaimana jika Tom memang sudah berniat pergi ke bazar dan bertemu Emma dengan Mr. Taylor? Lelaki berusia 19 tahun itu cemburuan, dan pasti akan mengira macam-macam. Setelah itu, Tom bisa saja mundur dan tidak mau kembali pada Emma. Padahal, hati Emma tidak bisa berbohong--masih ada secercah harapan bahwa mereka berdua bisa saja saling memaafkan dan akan memulai semuanya dari awal dengan pikiran yang lebih dewasa dan matang.

Emma melihat Edward berjalan dari ujung koridor. Mereka saling tatap namun Emma buru-buru menunduk untuk menghindarinya. Edward berbelok duluan ke kelas seni. Emma ingin segera menyusul, namun ia malas akan kecanggungan yang mungkin terjadi di dalam sana. Jadi, gadis itu menunggu di dinding di sebelah pintu. Persis saat ia mendengar Mr. Taylor meluapkan amarahnya pada anak kelas sepuluh tempo lalu.

"Gambar apa ini?" Mr. Taylor menatap kertas di tangannya.

Edward mengangkat bahunya, menjawab dengan membuang muka. "Kau bisa lihat sendiri, Sir."

Mr. Taylor melirik sejenak Edward yang berdiri di hadapannya. Sementara sang guru duduk dan menyayangkan sikap kurang sopan santun Edward saat menjawab.

"Jika kau tidak keberatan, duduk saja, Nak." ucap Mr. Taylor dengan rasa hormat.

Edward menggerling ke kursi yang berada di sisi meja Mr. Taylor. Tentu saja ia enggan duduk hanya untuk menunggu Mr. Taylor memberikan penilaian atas tugasnya.

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang