"Emma!" panggil seseorang. Emma berbalik mencari sumber suara. Belum sempat ia melihat siapa yang memanggilnya, seseorang sudah mendorong bahunya tak kalah keras dengan panggilannya tadi.
"Kau benar-benar tidak tahu diri, Emma!" teriaknya. Emma perlu waktu untuk fokus kepada wajah sangar di depannya. Ternyata, Caroline.
"Ada apa Caroline?" balas Emma, menuntut mengapa Carol tiba-tiba besikap nyalang seperti itu.
"Ada apa, katamu? Lihat ini! LIHAT!" bentaknya sambil mengangkat sebuah foto yang menunjukkan Emma sedang berada di depan rak perpustakaan. Carol membalik foto itu dan Emma melihat sebuah tulisan tertulis di sana ; Emma, she'll be always my first and I will become my last. Seketika, foto itu sudah diremuk dan dilemparkan ke wajah Emma dengan kasar. "KALAU KAU CARI COWOK JANGAN YANG SUDAH PUNYA PACAR! DASAR TIDAK TAHU DIRI!"
Orang-orang di koridor terkejut mendengarnya. Beberapa dari mereka sudah berbisik-bisik, melirik Emma penuh kebencian.
Emma mendengus dan menatap Carol yang lebih tinggi darinya dengan tajam. "Memangnya siapa yang berniat merebut Glenn darimu?" tantang Emma. Tenang, namun siap mengalahkan.
"PACARKU TIDAK MUNGKIN MENYIMPAN FOTOMU DI BALIK BANTALNYA JIKA KAU TIDAK PERNAH MENGGODANYA!" Carol berteriak begitu keras, bahkan terdengar sampai ujung lorong sekolah.
Tangan Emma yang sudah mengepal sedari tadi memukul dengan keras loker besi di belakangnya. Suaranya membuat orang-orang tak percaya Emma bisa semarah itu. Carol sedikit bergidik, ia menurunkan nyalinya.
"Silahkan! SILAHKAN BERITAHU ORANG-ORANG APA ASUMSIMU KEPADAKU," kata Emma dengan nada tinggi. "Ayo! Beritahu mereka apa yang sudah aku lakukan kepada pacarmu itu!"
Carol terdiam, ia masih menatap Emma marah namun tak berkutip.
"Aku hitung jawabanmu dalam sepuluh detik. Jika kau tidak bisa menyebutkan buktinya berarti aku tidak salah. Satu," Emma mulai berhitung, ia sengaja menantang Carol soal ini. Carol gelagapan, ia mencari cara agar Emma menjadi pelaku dalam masalah ini. "Dua."
Carol berkata, "Kau menggoda pacarku."
"Kapan? Sekelas saja tidak. Bertemu saja tidak pernah. Memangnya kau pernah melihatnya berduaan denganku. Tidak, 'kan?" tantang Emma lagi.
Carol bungkam. Diliriknya teman-teman yang ikut menunggu. "Ayo, mana lagi tuduhanmu? Biarku tunggu!" seru Emma. Tangannya yang mungil kini terlipat.
"You're a whore, Emma!" ejek Carol dan berlalu dari sana.
Emma menatap satu persatu orang yang melihat perdebatan mereka tadi. Seorang perempuan dengan pita kecil di kepalanya langsung memalingkan wajah ke arah lain. Begitupun sekelompok remaja lelaki yang menatap dirinya kagum, namun buru-buru menunduk dan saling berbisik, "Astaga benar sekali. Bagaimana mata semacam itu mampu menggoda pacar orang."
Emma tersenyum simpul saat tak sengaja mendengar kalimat itu. Thank, God. Mereka langsung tahu bahwa aku memang tak salah.
~~~
"Aku dengar kau berantem," kata Alex santai sambil membawa nampan makan siangnya.
"Tidak berantem, kok. Hanya saja--" Emma melirik sekilas anak cewek yang ternyata teman-teman Carol sedang menatap dirinya tajam. "Carol menuduhku menggoda pacarnya."
"Hey, buruk sekali. Lalu kau apakan cewek itu?" Alex agak emosi mendengarnya.
"Kupukul loker di belakangku. Entah kenapa, tapi aku kesal sekali. Orang-orang melihatku. Tapi, aku merasa baik-baik saja saat Tuhan langsung membuktikan bahwa aku tidak salah," jelas Emma mengeluarkan garpu dan pisaunya dari gulungan tisu.
Alex melirik ke kanan dan ke kiri dan bertanya, "Bagaimana aku bisa baik-baik saja saat semua orang kini membicarakanmu?"
Emma tersenyum tipis. "Tenang saja. Tuhan akan menunjukkan bahwa aku memang tidak melakukan apa-apa. Masalah Tom saja sering menganggu pikiranku."
Alex melipat kedua tangannya di atas meja lalu berujar, "Aku baru lihat orang sepertimu. Dibenci oleh mereka karena cowok yang mereka suka malah jatuh cinta padamu."
Emma agak geli mendengarnya. "Aku tidak pernah mengharapkan itu bisa terjadi."
"Aku pun sama. Tapi berbeda dengan lelaki. Kami tidak lebay dan tidak musuhan bila itu terjadi," ujar Alex, menertawai remaja cewek selain Emma begitu cerewet dan membesar-besarkan masalah. "Aku bersyukur kau tidak macam-macam."
Emma mengangguk pelan dan memotong daging asapnya. "Aku ingin mendapatkan yang hal-hal baik. Minimal dari diriku sendiri."
Alex mengunyah sambil tersenyum bangga. "Jangan hiraukan mereka, ya."
Emma mengangkat alis sekilas. "Jujur saja, aku pun sempat memprotes kenapa ada saja sesuatu yang membuat teman-teman perempuanku tidak mau berteman denganku. Sampai sekarang aku tidak pernah paham."
Alex ikut berpikir. Benar juga... Selama ini Emma seperti tampak tidak punya teman perempuan yang dekat dengannya di sekolah. Kecuali saat jam pelajaran saja. Aku ini egois sekali sampai-sampai tidak sadar soal itu.
"Apakah sebagai lelaki kau tahu alasannya?" tanya Emma, belum juga memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
"Apalagi kalau bukan jealous?" Alex berasumsi, dan itu benar adanya. Alex melihat Emma yang terdiam, tampak belum sepenuhnya mengerti. "Ya, dalam segala hal."
"Aku mengerti sekarang," ucap Emma akhirnya.
"Bagus jika kau tidak menyadari alasan mengapa mereka membenci karena nilai positif yang kau punya. Tidak perlu disebutkan satu persatu bahwa kau terbukti independent woman. Itu bukti kau tidak merasa lebih baik dari mereka," sambung Alex.
Itulah alasan kenapa Emma menghapus semua sorotan bakat di Instagramnya. Semenjak... Katherine berkata orang sepertinya membuat orang lain insecure dan tidak percaya diri. Emma sering dibilang pamer atau istilah-istilah jelek yang tidak mengakui kelebihannya. Padahal, Emma tidak bermaksud seperti itu. Ia hanya menghabiskan semua sisa waktu dalam hidupnya dan memanfaatkan sebaik mungkin kemampuan yang sudah diberikan Tuhan. Sebelum... ia pergi dari hadapan mereka semua untuk selama-lamanya.
"Emma, kau berkaca-kaca..."
Emma berkedip dan setetes air mata menjatuhi pipinya. "Ah, maaf. Aku terlalu terbawa suasana."
"Kau mau bercerita?" Alex berhenti makan dan menyentuh pundak Emma.
"I'm fine," jawab Emma. Sebenarnya Emma ingin meluapkan segalanya kepada Alex. Namun, entah mengapa ia merasa menceritakan soal ini tidak terlalu cocok bila diutarakan kepada laki-laki. Meskipun itu adalah Alex sendiri.
"Apa yang membuatmu sedih?" tanya Alex.
"I don't know, I..." Emma mengusap matanya yang tak bisa menahan lagi. "Aku hanya ingin berhenti mendengar mereka memanggilku Ms. Perfect. Aku sama sekali tidak begitu."
Alex menggigit bibir bawahnya. Mereka semua memuji Emma, sekaligus mengejeknya. Padahal, Alex pun melihat Emma sebagai sosok yang sempurna. Namun, ia menyadari, ada kekurangan dari segi fisik adik perempuan satu-satunya itu.
"Aku tahu." Alex yang tak pandai menenangkan orang saat menangis memilih untuk mengusap-usap kepala Emma. Ia tak peduli kepada teman-temannya yang melirik mereka berdua. Terutama Carol, yang hatinya berdesir takut Emma menangis karena tuduhannya. Sejujurnya, Carol adalah salah seorang yang sangat ingin bersahabat bersama Emma. Hatinya baik, hanya saja ia terlalu mencintai kekasihnya sehingga buta dan terlalu emosi.
Di samping itu, beberapa yang lainnya merasa Emma sangat beruntung memiliki kakak setampan Alex yang selalu menemaninya kapan saja ia sedang bersedih.
Padahal di lubuk hati Emma paling dalam, ia memanggil-manggil nama ibunya dengan rindu.
"Hey?" panggil Alex. "Setelah ini kita pergi ke makam Mum dan Dad, ya?"
Emma mengangguk. "Terima kasih sudah selalu mengerti Alex."
"Sini," Alex melambai untuk berbisik kepada Emma. Emma mendekatkan kepalanya dan berbisik, "I love you."
"Yes.. I hate you too.."
KAMU SEDANG MEMBACA
HAUTE VALUER [COMPLETED]
General Fiction🎨WAKE ME UP WHEN I SLEEP 2 🎨 Seorang guru seni lama bernama Mr. Taylor yang baru saja menyelesaikan studi strata duanya kini datang untuk mengajar kembali. Kehadirannya sangat membawa keuntungan bagi sekolah. Salah satunya membuka kembali Klub Tea...