Pengakuan

28 8 0
                                    

Emma menaruh buku catatannya di meja Taylor. Diliriknya gadis itu yang sempat tersenyum ramah ke arahnya seperti biasa. Taylor ingin sekali membalas senyuman itu, namun ia menahan diri agar murid lain tidak berpikir ia terpesona dengan Emma.

Taylor melirik Emma lagi ketika ia sudah duduk lagi di kursinya. Gadis itu tampak ceria. Ia terus berbincang dengan teman di sebelahnya. Taylor langsung menunduk, memilih memfokuskan diri menilai catatan siswanya saja.

Buku perbuku ia buka dan paraf tanpa melihat tulisannya secara detail. Namun, hanya ada satu catatan yang berada di tangannya lumayan lama. Paragraf-paragraf yang berjajar rapih dan bersih. Tulisan tangan Emma mengalihkan perhatiannya.

Ini adalah tulisan paling rapih yang pernah kulihat!

Taylor tersenyum sejenak dan memaraf catatan siswinya itu. Emma memerhatikan dari bangkunya, heran apa yang ada dipikiran Mr. Taylor terhadap buku catatannya?

Tapi Emma langsung mengendalikan diri untuk tidak overthinking. Cukup pikirannya terbebani dengan kejadian bersama Miller tadi malam, tanpa harus menambah-nambahkannya dengan prasangka kecil seperti itu.

Taylor selesai memeriksa catatan murid-muridnya dan mencari spidol. Ia memasukkan tangannya ke dalam laci dengan kepala yang tetap lurus ke depan.

Noah, anak berdarah Italia-Inggris bermata hazel mengetuk bahu Emma dengan telunjuknya.

Emma berbalik, lalu Noah menyerahkan sebuah gulungan kertas kepadanya. Emma menerimanya dan mendapati isi dari kertas tersebut berbunyi, 'Edward mengajakmu makan di kafetaria setelah ini. Mau, gak?'

Emma mengerutkan dahinya. Kafetaria? Memangnya Alex mengizinkan?

Emma berbalik lagi kepada Noah, meminta penjelasan darinya. Edward yang duduk di bangku paling belakang menoleh sesaat untuk memastikan.

Noah mengangkat bahu. "Terima saja, lah. Aku cuman menyampaikan aja."

"Ok, students. Cukup perbincangannya," perintah Taylor. Ia sudah berdiri di depan kelas dan murid-muridnya langsung berhenti berisik. Emma sudah berbalik ke depan. Mr. Taylor kembali memulai pembelajarannya, dengan membawakan materi baru.

Baru kali ini Emma menyadari bahwa sosok Mr. Taylor begitu tinggi menjulang, dengan postur tubuh yang tak terlalu gemuk juga tak kurus-kurus amat. Alisnya tebal dengan mata hijau yang menatap tajam ketika Taylor sedang diam. Rambutnya tebal dan bergelombang, dengan kumis yang sangat tipis menghiasi wajahnya yang berahang tegas dan berkulit putih.

Emma sempat menangkap ada gelagat aneh ketika gurunya itu menerangkan materi di depan sana. Entahlah. Mr. Taylor seperti terlalu sering meliriknya. Seolah hanya untuk mengecek apakah Emma masih memerhatikan atau tidak. Namun, Emma tak ingin kegeeran. Karena bisa jadi itulah yang dilakukan seorang guru terhadap muridnya.

Tapi ternyata, setelah pelajaran seni selesai dan langsung tergantikan dengan pelajaran bahasa German oleh Mr. Lucas, gurunya itu tidak menunjukkan gelagat seperti Mr. Taylor ketika mengajar tadi. Mr. Lucas menerangkan materi sembari menatap ke semua siswa, tidak menonjol hanya melirik satu orang saja. Padahal, Emma termasuk pandai dan paling fasih dalam berbicara bahasa German di kelas itu.

Bel istirahat berbunyi. Hal yang Emma takutkan terjadi.

Edward berjalan melewati bangkunya seraya berkata, "Aku tunggu ya." Lalu ia berjalan terus keluar kelas untuk ke kafetaria. Emma bingung harus bagaimana sekarang. Ia pun menahan Noah yang hendak melewati bangkunya juga.

"Noah," panggil Emma.

Noah menoleh. "Iya?"

"Kamu ikut juga ke kafetaria?" tanya Emma penasaran. Ia berharap, Noah pun akan pergi ke sana.

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang