Taylor membuka setiap lembar kertas gambar yang dikumpulkan siswanya. Ia tak pernah berhenti mengagumi karya anak-anak di Effingham. Angkatan yang satu ini memiliki daya saing yang lumayan ketat. Namun ada tiga sketsa yang telah ia pisahkan dari yang lainnya untuk mendapatkan nilai tertinggi.
Kursinya berdecit ketika bergeser, ia mengangkat tumpukan kertas itu tinggi-tinggi. "Luar biasa," ucapnya sambil memberikan tatapan kagum kepada seisi kelas.
Emma tersenyum tipis di bangkunya, agak kecewa dengan dirinya karena mengerjakan sketsa itu secara terburu-buru. Ia sudah mengira akan mendapatkan B, atau bahkan C untuk gambarnya.
"Aku sudah menyisihkan tiga orang dengan sketsa terbaik untuk tugas pertamaku," kata Taylor, sebelah tangannya menunjuk tiga kertas di atas mejanya. "Aku akan memanggil tiga orang terbaik untuk berdiri di sini dan menceritakan arti dari gambar yang telah dibuat."
Semua menahan nafas, antara was-was mendapatkan nilai yang tinggi, atau khawatir tidak bisa menjelaskan makna dibalik sketsa yang sudah digambar.
"Yang pertama, Ben." Taylor menyimpan tumpukan kertas yang ia genggam dan meraih satu kertas milik Ben. Semua bertepuk tangan, menunggu langkah Ben yang lebar-lebar untuk sampai di depan kelas.
Ben bertubuh lumayan berisi, hidungnya bulat dan matanya berwarna cokelat terang. Ia menerima kertas itu dan memperlihatkannya kepada teman-teman. Sketsa tanpa warna, tampak realistis dan semua mengira itu memang mirip wajah asli sosok yang ia buat.
"Sejak dulu aku ingin sekali membuat sketsa wajah pamanku, Armie. Kalian boleh tahu bahwa ia merupakan seorang penyintas kanker di akhir hayatnya," kata Ben membuka.
"Tuhan memberkatinya." Seisi kelas bergumam pelan.
"Aku adalah keponakan yang paling dekat dengannya. Dia baik dalam segala hal. Dan ia guru yang hebat seperti Mr. Taylor," kata Ben menunjuk ke Taylor yang berdiri di sebelahnya.
Taylor mengangguk sekali dan menoleh ke seluruh kelas. "Mr. Armie adalah guruku ketika di Grand Public School."
Emma terkesiap kecil. Ternyata Taylor pernah bersekolah di sekolah mimpi buruknya itu.
"Pantas saja sketsa Ben menjadi yang terbaik. Gambarannya berkesan buat Mr. Taylor." Zayn berbisik kepada Ronald di sebelahnya. Semua orang tak ada yang menyadari hal itu, kecuali Taylor.
"Lanjutkan, Ben. Sketsamu memang bagus." Taylor menyanggah secara tidak langsung. Tentu Zayn sedikit terlonjak dan merasa sudah kelewatan.
Ben pun menurut. "Armie bukanlah seorang paman yang menjaga jarak dengan keponakannya. Ia guru yang berkesan bagi keluarganya, apalagi bagi murid-muridnya. Ia selalu mengajakku untuk piknik di hari libur. Armie memberiku kesan yang sangat baik selama ia hidup. Ada banyak perbincangan yang sangat berarti bagiku. Mungkin kita seringkali tidak senang bila ada yang menasehati. Tetapi Armie bisa menetralisir semua itu dengan obrolan ringan namun mudah diingat. Mungkin agak sulit bagiku untuk menjelaskannya kepada kalian secara rinci. Namun, bayangkan saja orang yang dengan sepenuh hati mengajakmu berbicara ketika tak ada yang mau mengerti dirimu. Jika kalian punya ibu atau teman, aku punya Armie."
Aku punya Alex, Emma membatin.
"Awalnya aku menyayangkan seorang yang begitu baik sepertinya sudah dipanggil Tuhan lebih awal sebelum rambutnya berubah warna menjadi putih. Padahal aku tahu, saat ini sulit menemukan orang seperti dia," lanjut Ben.
Seisi kelas termenung, kepala mereka membayangkan sosok baik Armie yang belum mereka temui. "Maka dari itu, aku berusaha mencoret kertas semampuku dengan wajahnya. Kuharap ini tidak buruk, Mr. Taylor. Aku tak bisa menahan tangis ketika mengerjakannya," kata Ben, menoleh pada Taylor yang tersenyum haru.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAUTE VALUER [COMPLETED]
General Fiction🎨WAKE ME UP WHEN I SLEEP 2 🎨 Seorang guru seni lama bernama Mr. Taylor yang baru saja menyelesaikan studi strata duanya kini datang untuk mengajar kembali. Kehadirannya sangat membawa keuntungan bagi sekolah. Salah satunya membuka kembali Klub Tea...