Too Young To Depressed

41 12 0
                                    

Selagi semua berjalan normal pada minggu pertama semester baru, Alex terus mengeluh soal teman-temannya di kelas. Pasalnya, mereka terus menggodanya dan memanggilnya naif. Karena sudah merasa cukup akrab dan sering mengobrol, Alex pun lebih memilih untuk menghampiri Taylor di ruang guru pada Kamis pagi. Ia masuk, tanpa mengetuk karena merasa pintu terbuka itu artinya siapa pun boleh melewatinya. Beberapa guru melempar pandang heran kepadanya, tapi Alex tak sadar.

"Mr. Taylor?" Alex menghampiri Taylor yang sedang berkutat dengan laptopnya.

Taylor agak terlonjak karena kehadiran Alex yang tiba-tiba. "Ya, Alex? Ada apa?"

"Aku mau mengajakmu makan siang," kata Alex. Taylor melirik jam. Pukul 10 pagi, istirahat pertama. Ia pun mengangguk pelan setelah beberapa saat berpikir dan ragu melanda. Namun tak enak juga bila menolak ajakan anak itu.

Taylor tersenyum dan bersandar di bangkunya. "Wah, keren sekali. Apa kau sedang ulang tahun?" Ia heran ada seorang murid yang berani mengajak gurunya makan siang. Itu berarti, mentraktir seorang guru.

Alex menggeleng. "Ulang tahunku masih lama. Tenang saja, aku tidak bermaksud sebagai penjilat kok."

Ms. Millie menahan tawa di sebelah Taylor, sedangkan ia sendiri melotot mendengar jawaban ringan dari mulut Alex. "Oh, baiklah. Sekali-kali bolehlah makan di kafetaria."

Alex tersenyum senang. "Aku punya rekomendasi menu yang enak di sana." Sebenarnya Taylor sudah mengetahui semua menu yang ada di kafetaria. Tapi, demi menjaga perasaan Alex, ia menurut saja.

"Good luck," bisik Ms. Millie yang menutup bibirnya dengan punggung tangan agar tidak terlihat sedang tertawa.

Mereka berdua pun makan siang di kafetaria. Emma baru saja membeli es krim dan hendak bergabung dengan Alex namun urung setelah tahu bahwa orang di depannya adalah Mr. Taylor. Alex mengangkat tangan, menyuruhnya untuk duduk bersama mereka. Namun Emma menggeleng dan pergi dari sana sebelum Taylor menoleh.

"Siapa tadi Alex?" Rupanya Taylor tidak mengetahui kehadiran Emma.

"Emma, saudaraku," jawab Alex. Memperjelas lagi bahwa Emma bukanlah kekasihnya.

Taylor menggerling ke kanan dan ke kiri, agak tidak nyaman karena murid-muridnya yang lain menatapnya sinis. Mereka pasti berpikir macam-macam bahwa Taylor mengistimewakan Alex. Dia sempat menyesali menuruti ajakan ini. Tapi mau bagaimana lagi? Setelah berhari-hari mengenal, Taylor mulai respect kepada Alex walau ia baperan dan sering salah tangkap. Tapi Taylor mengerti kondisi Alex, karena anak itu adalah bayangannya ketika dulu. Dan Taylor merasa bertanggung jawab untuk tidak mengecewakan anak itu hanya karena sebuah penolakan makan siang.

Alex mengerti gelagat Taylor yang sedari tadi mengunyah tak semangat. Ia pun mencoba secepat mungkin menghabiskan makanannya, lalu mereka keluar dari kafetaria.

"Maaf sudah membuatmu tidak nyaman, Sir," ucap Alex malu-malu. Ia merasa bersalah karena teman-temannya jadi berprasangka kepada gurunya di kafetaria tadi.

Taylor mengangguk. "Tidak masalah."

Mereka berbelok ke tempat yang lebih ramai. Emma baru saja menutup pintu lokernya dan Edward berdiri di belakangnya. Kini mereka saling berhadapan.

Alex melihat Edward yang mengangkat semangkuk greek yoghurt. "Untukmu," ucap Edward.

Alex berhenti melangkah, begitupun dengan Taylor yang sekarang tak sengaja menyaksikan Edward yang sedang membujuk Emma.

"Aku sudah beli es krim," kata Emma seraya mengangkat cup es krimnya.

"Tak apa-apa biar kau gemuk," sahut Edward. "Ini ambil saja." Ia menarik tangan Emma yang satunya lagi untuk menerima makanan itu.

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang