Hasil Diagnosa Alex

18 4 0
                                    

Emma berbaring di atas kasurnya, menatap ponsel dan hanya bolak balik dari satu aplikasi ke aplikasi lainnya.

Tom tidak menghubunginya setelah tiga hari. Ia tiba-tiba tidak ada kabar.

Sibuk sekali dia...

Emma begitu berharap Tom benar-benar akan menerimanya kembali. Lelaki yang tahun ini menginjak 20 tahun itu adalah satu-satunya orang yang mampu membuat Emma diterima, dihargai, dan aman. Tom memang terkadang tempramental, tapi hal itu terjadi karena ada alasannya—Tom terlalu cemburu, sehingga sering marah dan mendiamkan Emma. Semua orang tahu itu.

Tapi Emma senang dianggap berharga. Dan hanya Tom yang bisa membuatnya merasa dibutuhkan dan diinginkan.

Alex masuk tanpa aba-aba ke dalam kamar Emma dan duduk di atas ranjangnya.

"Hasil tes sudah ada," kata Alex, menyandarkan punggungnya di dinding. Wajahnya yang murung membuat Emma terlonjak dan menyembunyikan ponselnya di balik selimut.

"Tes apa?"

Alex memberikan satu map berwarna putih. Ada logo Psikologi dari Effingham Psychology Center, tempat Bibi Jade bekerja. Emma melirik Alex sekilas sambil membuka map yang sudah dibuka perekatnya.

Alex meremas selimut di bawahnya selagi Emma membaca hasil tes kejiwaan Alex.

Setelah selesai, dunia Emma serasa berhenti berputar. Wajah Alex yang sering tertawa tiba-tiba muncul di dalam pikirannya, padahal Alex sendiri ada di depannya. Alex yang tak pernah berkecil hati, untuk pertama kalinya runtuh tanpa aba-aba.

Emma mengangkat kepala perlahan, menatap saudaranya yang kini menunduk murung.

"Tidak mungkin, 'kan?" tanya Emma memastikan, seolah hasil itu adalah candaan belaka.

Alex mengangguk. "Aku juga tidak percaya. Tapi hasilnya mengatakan begitu," kata Alex, matanya berkaca-kaca saat memandang wajah sendu adiknya. "Maafkan aku tidak pernah cerita. Karena selama ini aku tidak merasakan gejala depresi apapun. Aku berani bersumpah selama ini aku merasa baik-baik saja. Everything is fine, Emma. I've never thought of this shit before. Aku menyesal tahu diagnosanya sekarang. Kukira aku hanya sedih dan marah tanpa sebab dan itu karena moodku yang kacau.  Kenyataannya aku terlalu memendamnya selama bertahun-tahun. Aku berharap tidak pernah membuka map itu untuk selama-lamanya."

Tangan Emma tiba-tiba menjangkau tubuh jangkung Alex ke pelukannya. Emma memeluk Alex dengan begitu erat, seperti enggan kehilangan permata satu-satunya yang ia miliki.

Tangan Alex balas melingkar di punggung mungil Emma. Wajahnya terbenam di kepala gadis itu. Alex menahan untuk tidak menangis, meski sangat sakit hati dengan hasil tes tersebut.

"Sudah, jangan khawatir. Aku memang merasakan kesedihan luar biasa. Tapi itu tidak berangsur lama. Entahlah, mungkin karena aku sering mengalihkan perhatianku pada kalian—adikku, teman-temanku, bahkan masalah Miller." Lalu Alex tertawa renyah. "Aku tidak fokus pada masalahku dengan fokus pada masalah lain."

Emma menekan dagunya di pundak Alex. "Ceritakan padaku apa yang kau pendam selama ini."

Mata Alex mulai menerawang. "Aku tidak tahu. Kata Bibi Jade, depresi memang membuatku mati rasa. Mungkin itu sebabnya aku selalu terlihat ceria, karena aku sendiri pun tak tahu itu namanya kesenangan. Aku juga sering merasa marah, tapi semenit kemudian aku bisa lupa dan seakan baik-baik saja."

Emma bergeming, tidak menyangka berita buruk ini akan terjadi pada saudaranya.

"Aku selalu merasa baik-baik saja," lanjut Alex.

Emma mengeratkan pelukannya. "Kau tidak pernah bilang padaku rindu mum dan dad," kata Emma lirih.  Ia sangat amat yakin bahwa ada faktor orang tua.

Alex kini menaruh dagunya di atas kepala Emma. "Memang. Semua dari kita pasti merindukan mereka, 'kan? Aku berpendapat untuk apa kita saling memupuk kesedihan—jadi aku tak pernah bilang."

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang