Rambut gadis itu terurai panjang, hampir menyentuh pinggang. Setelah santai berwarna nude dan rok sebetis menciptakan pesona anggun darinya. Semprotan parfum mendarat mulus di leher dan lengannya. Tubuhnya begitu wangi, wajahnya begitu cantik. Emma memoles bibirnya dengan lip balm untuk sentuhan akhir. Setelahnya, ia meraih tas mungilnya dan keluar kamar.
Tak ada Alex di sana. Emma menghampiri kamarnya yang sedikit terbuka.
"Sekarang?" tanya Emma lembut dari balik pintu.
Alex sedang menghadap jendela kamar. "Iy.. iya."
Emma menghampirinya dan menyentuh pundak Alex, anak itu akhirnya berbalik. "Aku hanya gugup," katanya tanpa diminta.
"Aku juga begitu awalnya. Tapi santai saja. Bibi Jade bisa menenangkanmu." Ucapan Emma sudah menenangkan Alex.
Alex menghela nafas dan meresleting jaketnya. "Baik. Aku akan mencoba rileks..."
~~~
Mereka sampai di rumah megah Ferrington. Satu pemandangan bangunan mewah di tengah-tengah kompleks. Air pancuran, tiang yang tinggi, dan pintu depan yang besar.
Emma tak bisa menahan lehernya untuk terus menoleh ke arah garasi. Ia yakin tidak melihat mobil sedan Tom di sana. Tak apa, batinnya. Emma bersyukur karena ia memang belum sesiap itu untuk bertemu Tom. Di satu sisi, ia sedih karena takut Tom tidak akan pulang hari ini.
Pintu rumah Ferrington terbuka setelah dua kali bel berbunyi. Agatha, sang asisten rumah tangga yang memakai blouse berwarna cream dan celana hitam menyambut mereka. Ia begitu rapih dan bersih, tidak nampak noda sedikitpun di pakaiannya.
"Aku senang sekali saat Nyonya memberitahu kalian akan ke sini." Agatha berjalan tergesa-gesa, sangat gembira mendapati anak kembar kesayangannya datang ke sana. "Kalian mau apa? Teh? Makanan manis?"
"Tidak usah, Madam. Aku ingin langsung bertemu Bibi Jade saja," Alex menjawab.
Agatha berhenti mencari makanan. "Nyonya ada di atas. Sepertinya sudah menunggumu."
Alex dan Emma mengangguk paham. "Terima kasih."
Mereka berdua menaiki tangga besar. Tak memerlukan waktu lama untuk menemukan Bibi Jade. Wanita cantik itu sedang duduk sambil menelepon seseorang. Ia sempat mengisyaratkan untuk dua anak itu menunggu.
"Ya. Ya, baik. Oke. Terima kasih, Mr. Taylor. Sampai jumpa."
Emma terpaku. Begitu juga dengan Alex. Mereka berdua saling tatap penuh arti. Emma merasakan sensasi aneh setelahnya.
Jika saja mereka sedang tidak berdekatan dengan Bibi Jade, pasti Alex sudah mengoceh soal itu.
"Halo," sapa Bibi Jade, mengalihkan diskusi batin si anak kembar.
"Halo Bibi..." balas Emma, sikap selanjutnya mudah sekali ditebak. Ia berjalan cepat menuju Bibi Jade dan mereka berdua saling berpelukan—sama seperti yang dilakukan Alex bila bertemu Paman Peter.
"Bagaimana kabarmu, sayang?" tanya Bibi Jade dalam pelukan.
"Aku semakin baik berkatmu." Jawaban itu menentramkan Bibi Jade. Mereka pun melepas pelukan. Bibi Jade memandang gadis itu penuh harap. Emma menangkap sorotan itu. Meski menghangatkan, tapi di satu sisi Emma terluka.
"Katanya Alex ingin bercerita, ya?" Bibi Jade mulai mengajak Alex bercengkrama.
"Iya. Aku merasa baik tapi juga tidak baik. Ah, sulit dijelaskan—tuh, 'kan, Emma! Belum apa-apa aku sudah bingung!" Alex menutup wajahnya gusar.
Bibi Jade geli melihatnya. "Santai saja, sayang," katanya. "Jika perlu kita tidak mengobrol di sini kalau kau tegang. Sambil jalan-jalan di taman." Bibi Jade mengulurkan tangan untuk mengajak Alex keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAUTE VALUER [COMPLETED]
General Fiction🎨WAKE ME UP WHEN I SLEEP 2 🎨 Seorang guru seni lama bernama Mr. Taylor yang baru saja menyelesaikan studi strata duanya kini datang untuk mengajar kembali. Kehadirannya sangat membawa keuntungan bagi sekolah. Salah satunya membuka kembali Klub Tea...