Sudah satu jam Emma menikmati waktu me-timenya di rumah besar yang hampir semua sudutnya memanjakan mata. Gadis itu sudah duduk berdiam diri di balkon yang menghadap ke taman belakang. Ia memberikan waktu untuk menyendiri, memikirkan segala hal, dan menjernihkan pikirannya. Emma menggumamkan kata-kata puitis. Dalam kesendiriannya, ia berhasil membuat sebuah bait puisi.
"Air itu menetes dan menyatu.
Anginnya menemani menderu-deru.
Baju pangeran berwarna putih.
Tapi tidak sepenuhnya mulus seperti yang kau pikirkan.
Lemparan kentang setengah hangat mendarat.
Tepat di atas kepalaku, membuatku menoleh kesal.
Si pelempar tertawa.
Tak melanjutkan takut menghancurkan.
Kami sedang membalas pesan, lewat layar ditangan.
Waktu itu, malam yang romantis."Emma menghela nafas melalui mulutnya. Kenangan indah bersama Tom setahun yang lalu. Masa-masa awal ia masuk ke Effingham, dan Tom menjadi TDCnya adalah hal yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidup.
Berat baginya mengingat yang satu itu. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan balkon agar tidak terlalu tenggelam dengan cerita yang tidak bisa diulang lagi.
Emma kembali melewati ruangan tempat foto dan pajangan berada. Ia menggerling sesaat ke jajaran vas—menyesal, tapi tidak lagi merasa bersalah karena Paman Peter menerimanya dengan sangat lapang dada.
Emma berjalan cepat menuju tangga. Ia begitu bersemangat karena ingin membantu Agatha memasak makan malam. Namun, saat baru saja sampai di anak tangga ketiga, mata Emma terpaku melihat lelaki jangkung di dekat meja makan.
Kaki Emma berhenti bergerak secara otomatis. Tom ada di bawah sana. Sebelah pundaknya mengais tas hitam besar. Ia memakai jaket abu tua dengan kaos berwarna senada.
"Sudah puas berkelilingnya?" Agatha masih memegang lap saat berkata pada Emma.
Tom pun mendongak. Ia pun kaget ada gadis itu di rumahnya. Tak ada angin tak ada hujan, tak ada persiapan.
Emma mencoba tersenyum lebih dulu pada Tom, sekaligus berniat menggantikan senyuman Tom yang ia tidak balas saat makan malam terakhir di rumah Anderson seminggu yang lalu.
Tom pun tersenyum, tapi ragu-ragu. Ia tidak terbiasa menerima senyuman manis itu lagi akhir-akhir ini. Semua masih terasa asing dan berbeda.
Saling melempar sunggingan ramah itu terjadi begitu cepat. Setelahnya, Emma menuruni tangga dan bersikap seperti normal. Ia bertanya pada Agatha apa yang bisa ia bantu.
"Sudah selesai semuanya," kekeh Agatha, ia melemparkan lap itu ke atas keramik kitchen set.
"Yah... Maaf aku terlambat." Emma melirik wastafel yang penuh dengan piring kotor. "Aku cuci piring saja."
"Jangan!" cegah Agatha. "Sayang jika tanganmu harus bertempur dengan sabun cuci, Nak."
"Tidak apa-apa. Aku suka mencuci piring, kok!" jawab Emma. Suara manis gadis itu seolah memeluk raga Tom yang kelelahan akibat kuliah seharian.
Agatha tersenyum dan membalikkan badan, memeriksa wastafel itu. "Kau cuci sendok dan gelas saja. Alat masak dan piring, biar aku saja."
"Baiklah," sahut Emma dan ia bergerak menuju wastafel yang tepat berada di belakang Tom.
Tom masih berdiri di sana sambil menyiapkan roti untuknya. Sedari tadi, ia mendengarkan percakapan hangat itu sambil memikirkan sesuatu. Dengan wajahnya yang membentuk ekspresi senyum tipis yang tidak tertebak.
Emma memfokuskan pikiran ke air yang mengalir dari keran—seperti baris puisi yang ia buat tadi.
Tak lama setelah itu, Tom berkata pada Agatha, "Aku harus naik."
KAMU SEDANG MEMBACA
HAUTE VALUER [COMPLETED]
General Fiction🎨WAKE ME UP WHEN I SLEEP 2 🎨 Seorang guru seni lama bernama Mr. Taylor yang baru saja menyelesaikan studi strata duanya kini datang untuk mengajar kembali. Kehadirannya sangat membawa keuntungan bagi sekolah. Salah satunya membuka kembali Klub Tea...