Tuhan... Kapan?

20 4 0
                                    

Karina dan Emma sedang memakan tacos di Kafetaria. Mereka berdua saling berbincang seru tentang klub tari Karina.

"Ms. Ronan baik sekali. Seperti Mr. Taylor versi perempuan," ujar Karina. "Eh by the way, tadi Mr. Taylor berbicara apa denganmu?"

"Oh itu," gumam Emma sambil mengambil makanannya dengan garpu. "Dia menunjukkanku permata berwarna merah muda."

"Ooohh..." Bibir Karina membulat. "Lalu?"

"Ya sudah," jawab Emma sambil memasukkan makanannya ke mulut. Karina bertanya lagi, dan Emma pun berhasil membuat semuanya tidak begitu penting. Ia juga tak mungkin membeberkan apa yang Mr. Taylor lakukan di dalam kelas.

"Eh?" Karina menyentuh perutnya.

"Kenapa, Karina?" tanya Emma.

Wajah Karina menegang, ia tampak menahan sesuatu. "Aku mulas sekali, Emma. Antar aku ke restroom."

"Iya ayo."

Emma membawa makanannya, begitupun dengan Karina. Mereka berjalan dengan cepat ke restroom. Karina masuk ke dalam salah satu bilik. Emma menyimpan makanan itu di wastafel.

"Noooo!" Karina berteriak.

Emma mendekati pintu bilik. "Ada apaa?" tanyanya panik.

"Emma, bolehkah aku minta tolong?" tanya Karina.

"Ya, ya! Apa?"

"Tolong belikan aku sanitary pad..."

Emma langsung menyahut, "Ok. Tunggu di sini! Aku akan segera kembali!"

Emma berlari keluar restroom dan sampai di minimarket sekolah, tak jauh dari kafetaria.

Di koridor, ia memicingkan mata, bingung harus membeli pad yang mana. Emma tak mau membuat Karina menunggu lama, jadi ia mengambil dengan cepat dan asal.

Di kasir, Emma langsung membayar. Di belakangnya, ternyata ada Alex dan Louis yang baru saja menggenggam snack keripik jagung.

"Hey," bisik Alex. Emma menoleh ke belakang selagi kasir memeriksa harga produk.

"Bukan aku," bisik Emma. Alex mengerti, padahal hatinya sudah gembira.

Emma pamit dari sana seraya berkata, "Aku duluan ya. Aku harus buru-buru."

Emma berlari lagi dan sampai di restroom. Karina terdengar grasak-grusuk di kamar mandi. Setelah selesai, Karina keluar dan menghela nafas lega.

"Huft.. terima kasih ya. Aku tidak tahu jika kau tak ikut harus minta tolong kepada siapa," Karina berterima kasih.

"Sama-sama Karina."

"Eh," Karina menyadari sesuatu. "Kau belum mens bulan ini?"

Emma tidak menyangka dengan pertanyaan itu. "Belum, Karina."

"Ohh.. biasanya tanggal berapa?" tanya Karina.

"Tidak tentu," jawab Emma sekenanya.

"Oke.. oke..."

Emma merasa tidak nyaman setelah keluar dari restroom. Karena selama berjalan untuk mencari tempat duduk di area sekolah, Karina terus menanyakan gejala-gejala menstruasi yang Emma rasakan. Sedangkan Emma hanya menjawabnya dengan kondisi-kondisi umum wanita menstruasi dari buku atau informasi di internet yang pernah ia baca.

"Aku juga benci sekali jika harus merasakan lilitan di perut tiba-tiba seperti tadi. Aku sering banget seperti itu," jelas Karina. Mereka duduk di dekat gedung laboratorium baru untuk melanjutkan kegiatan makan mereka. "Pantas saja tadi malam aku memarahi adikku sampai menendang pintu."

Emma hanya terkekeh mendengarnya. "Kasihan adikmu."

"Habisnya menyebalkan, sih!" Karina menggerutu.

Emma merasa sedih sekali sekarang. Jika saja dia sudah merasakan menstruasi, pasti obrolan ini akan lebih menyenangkan. Emma tahu siklus itu bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Tapi akan lebih tidak menyenangkan jika tidak merasakannya sama sekali.

Emma merasakan nyeri di tengah dadanya. Sebagai perempuan muda, ia langsung mendapati dirinya tak nyaman dengan kondisinya saat ini.

Tuhan... Kapan?

Pikirannya pergi ke sana kemari, ia akan menikah, dan semua wanita ingin memiliki rahim yang normal—walau tak semua wanita ingin memiliki anak.

Siapa laki-laki yang mau menerimaku jika terus seperti ini?

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang