Bisikan Di Koridor

45 12 2
                                    

"Kantinnya mewah," ucap Alex setelah duduk di bangku paling pojok kafetaria.

"Aku tahu." Emma menggeser kursinya lalu berbisik, "Yang tadi itu guru baru ya?"

Alex meneguk teh lemon, menggeleng. "Namanya Mr. Taylor, guru lama sebenarnya. Dia baru menyelesaikan kuliah S2nya di New York. Dia kembali ke sini untuk mengajar lagi sekaligus akan melanjutkan S3nya--di Universitas Effingham. Hebat ya?" Alex memasukkan sebuah sushi besar dan mengunyahnya. "Ahu sepherti pehnah mehliat diah. Apagah perasaanhu saha?"

Emma pun berpikiran sama. Dua detik pandangan pertemuan pertamanya dengan Mr. Taylor membuatnya seolah merasakan sentuhan aneh di nadinya. Dalam sekejap ia ditarik ke masa lampau, namun ia tak tahu pernah berpijak dimana. "Wajahnya familiar."

"Dan lumayan." Alex mengambil potongan sushinya yang lain. "Dia mirip..." Ucapannya terpotong, lalu melirik Emma yang mulai sedikit terlonjak dan memutuskan untuk tidak melanjutkan.

Emma membuang nafas pelan, kini baru menyentuh sumpitnya. "Tom."

Alex berhenti mengunyah. "Tom," ulangnya. "Kau harus terbiasa menyebut namanya."

Emma tidak ingin rasa bersalahnya memuncak lebih lama. Jadi ia pun memilih untuk memakan sushinya dan membiarkan Alex menonton kafetaria yang ramai.

"Bagaimana kelas pertamamu?" Emma akhirnya bertanya, mengalihkan perhatian Alex dari anak band yang berkerumun dan berbisik-bisik tak senang ke arahnya.

"Aneh," jawab Alex, wajahnya menampakkan keluh kesah yang akan diluapkan. "Menyebalkan. Sepertinya aku harus berpikir dua kali untuk mencari seorang gadis."

"Pasti beberapa dari mereka agak membuatmu tak nyaman, 'kan?" terka Emma.

Alex mengangguk mantap. "Ya! Bagaimana kau tahu?"

Emma melempar pelan sumpitnya. "Pastilah! Murid baru yang tampan." Bola matanya memutar meledek.

"Ih jangan mengejek!" Alex tak senang disebut begitu, tapi tak dapat dipungkiri hatinya menghangat.

Mereka pun menjadi hot issue di Effingham. Alex merasa seperti artis pendatang baru dengan segudang gosip dan bisik-bisik di koridor. Ia tak menyangka akan seramai ini. Pasti hal ini ada hubungannya dengan Emma. Alex bertanya-tanya akankah para gadis meminta tanda tangannya suatu hari nanti?

"Tentu saja tidak." Emma berhasil meruntuhkan kegeerannya.

"Benar ya. Memangnya aku siapa?" Alex terkekeh geli.

Alex hampir menghabiskan hari pertamanya di sekolah. Dan kelas terakhir, geografi. Ia tidak mengerti apa-apa selama dua jam penuh. Ia terus melirik teman-teman yang berada di belakangnya. Tadinya ia hanya penasaran untuk duduk di depan. Namun sayangnya, selama jam pelajaran ia merasakan orang-orang itu akan mendorong kepalanya dari belakang, lalu menenggelamkannya ke meja yang berubah menjadi air. Ia akan tenggelam, lalu mati di tengah kelas yang rawan pembunuh. Ia akan mati, dihari pertama sekolahnya.

"Alex?" Mr. Kim menunduk, menatap Alex dari balik kacamata rantainya. Alex terkesiap, melirik sekali lagi ke belakang untuk memastikan anak-anak itu tidak mencoba untuk menyentuhnya.

"Jangan menatapku seperti itu, murid baru!" Burke mengernyit merasa tertuduh. Tubuhnya yang gempal membuat Alex kian terancam. Ia pun menoleh ke depan dan menggeleng pelan kepada Mr. Kim yang heran dengan perilaku Alex.

Pelajaran selesai. Ia langsung berlari keluar kelas, mencari Emma di setiap kelas dengan membuka setiap pintunya. Untung saja kelas sudah bubar kecuali kelas terakhir yang sedang ia tuju.

"Dan kesimpulan dariku apa yang aku perkenalkan kepada kalian saat ini adalah soal cita rasa keindahan dan..." Mr. Taylor tak sengaja melirik Emma yang duduk di bangku dekat jendela. Gadis itu sedang memainkan pulpen birunya. "....kecantikan."

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang