Sekolah Baru

49 13 0
                                    

"Bagaimana penampilanku?" Alex memutar tubuhnya. Lagi.

Emma tak tahan untuk tersenyum. Alex dengan kulit putih bersih, rambut yang disisir rapih, mata biru langit, dan tubuh jangkung yang kini dibalut seragam hitam Effingham berhasil membuat Emma jatuh cinta kepadanya.

"Kau jelek sekali," kata Emma.

"Tidak mungkin aku jelek. Buktinya matamu berbinar seperti itu!" Alex menggerutu. Ia senang dengan seragam yang ia pakai. Tampak resmi dan ia merasa menjadi anak yang disiplin.

"Sudah cukup basa-basinya. Ayo cepat masuk mobil." Albert menurunkan kaca mobil, memanggil dua adik bungsunya itu.

Alex dan Emma masuk ke dalam mobil. Emma tak sabar mengajak Alex berkeliling Effingham dan menceritakan setiap sudut sekolah, seperti tur pribadi.

"Boleh aku tanya sesuatu?" Alex menoleh ke jok belakang.

"Ya apa?" Emma menyahut.

Alex berpikir. "Apakah di sana ada diskriminasi?"

"Diskriminasi soal apa?"

"Entahlah."

Emma menggeleng, rambut gelapnya bergoyang-goyang. "Tidak ada. Tenang saja."

"Tapi kau pernah cerita kalau primadona sekolah seringkali dijauhi," kata Alex. "Kau contohnya."

Albert berhasil bingung dibuatnya. "Excuse me?"

"Jangan didengar, Albert. Tidak penting." Emma mencoba untuk tidak mendapatkan pertanyaan lebih jauh lagi.

"Tidak, tunggu. Apa maksudmu Emma dijauhi?" Albert menoleh pada Alex, anak itu merasakan tatapan Albert dibalik kacamata hitamnya mengkilat dan penuh curiga.

"Semua orang tahu Emma diberi gelar primadona Effingham tanpa perlu menyalonkan diri sebagai prom queen. Kau tidak tahu?" Alex mulai bercerita. Emma menyentuh jok Alex dan diam-diam mencubit lengannya.

"Aw! Sakit, tahu!" Alex meringis.

Albert langsung paham bahwa Emma tidak menceritakan soal itu padanya. Selama ini, Emma selalu menceritakan kejadian-kejadian baik di Effingham, tanpa bercerita bahwa kenyataannya ia tetap saja sulit mendapatkan teman dekat walau sudah pindah sekolah. Awal yang indah, tetapi tidak untuk sekarang. Semenjak kejadian soal Edward. Hanya Emma, Alex dan Tuhan yang tahu. .

"Tapi setahuku kau punya beberapa teman di sana. Siapa namanya--Farrah, Irene, Mack, Katherine, Ernest dan.... Edward?" Albert menyebutkan setiap anak yang membuat Emma resah akhir-akhir ini. Emma merosot di joknya.

"Edward tidak masuk ke dalam daftar," potong Alex kesal.

"Kenapa?" Albert tentu saja bertanya lebih jauh. "Astaga kalian berdua membuatku cemas."

"Tidak usah cemas, Albert. Tidak ada apa-apa," kata Emma.

Alex menoleh ke belakang dan menyipitkan mata. Albert menghela nafas. Mereka sampai.

Emma langsung turun dari mobil, namun Alex masih di dalam sana karena Albert menahan lengannya.

"Aku ingin memberi tugas kepadamu Alex," katanya. Alex duduk tegak, siap menerima tugas. "Awasi Emma. Jika ada yang macam-macam dengannya, beritahu aku. Karena aku tidak bisa menjamin ia bisa menceritakan semuanya." Albert memelankan suaranya.

Emma menelan ludah. Telinganya memiliki pendengaran yang lumayan baik. Ia bisa menangkap sayup-sayup apa yang dikatakan Albert. Walau hanya dua kata pertama. Awasi Emma.

Lalu Alex pun turun, tersenyum lebar menatap gerbang sekolah yang ada di depannya. Selagi Albert memakirkan mobil, Alex beradu pandang dengan anggota TDC yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Lelaki itu berwajah sangat sangar, tatapannya seperti elang yang siap memangsa.

"Seram sekali ya." Alex berbisik kepada Emma.

Emma pun menangkap apa yang dimaksud Alex. "Jangan ditatap!"

"Tapi aku punya mata!" Alex menjawab.

"Gunakan matamu untuk melihat sesuatu yang baik saja!" Emma menyanggah.

"Ohhh maksudmu TDC tidak baik, begitu?"

"Bukan itu maksudku!"

"Aku beritahu dia ah."

"Jangan macam-macam, Alex!" Emma menarik Alex untuk menghadapnya, agar posisi TDC dengan Emma tidak saling berhadapan. "Asal kau tahu, yang satu itu namanya Quinn. Tahun 12. Galaknya minta ampun."

Alex membulatkan mulutnya. "Uuhhh scaryyy..."

Emma memutar bola mata. "Aku ingatkan kau saja. Masa pelatihan mental siswa baru senior tidak akan semudah itu. Jangan buat masalah. Bisa-bisa kau jadi mangsa."

"Iya Emma aku dengar aku dengar, ok?" Alex mengusap kepala Emma. Emma langsung menepisnya. Orang-orang sudah berdatangan, dan mata mereka menatap Alex dari atas kepala hingga ujung kaki.

"Come on buddies." Albert datang dan mengapit dua adiknya. Mereka bertiga berjalan masuk ke dalam sekolah dan kantor principal office adalah tujuan mereka.

Orang-orang menoleh. Para perempuan menutup mulut tak percaya. Alex dengan senyum yang awalnya mengembang kini mengatup rapat, mulai takut. Sehumoris apa pun ia ketika bersama Emma, namun tetap saja ia tidak punya pengalaman berada di tengah orang banyak seperti ini.

Knock knock knock!

Ruang kepala sekolah terbuka lebar. "Ah, Mr. Anderson!" Mr. Grazer menyalami Albert dan langsung menariknya ke sofa ruang kepala sekolah. "Tidak ada yang lebih kutunggu dari kehadiran murid seperti Alex di sini!" Mr. Grazer melirik Emma. "Dan Emma juga tentu saja."

"Apa kabar Mr. Anderson?" tanya Mr. Grazer, ia mulai mencoba mencuri simpati Albert.

Albert tertawa ramah. "Seperti yang Anda lihat, Sir. Baik sekali. Bagaimana denganmu?"

"Lebih baik sejak ledakan tahun lalu," kekeh Mr. Grazer. Dan basa-basinya cukup sampai disitu. Selanjutnya, Alex dan Emma saling menatap sepatu masing-masing, menunggu Albert dan Mr. Grazer selesai mengobrol soal homeschooling yang Alex jalani, kegiatan di rumah, dan nilai rapor Emma yang lumayan memuaskan.

"Memang cukup disayangkan Alex baru daftar di tahun ke 11. Padahal, peluang baginya untuk mengembangkan diri bersama anak-anak sebayanya begitu besar. Tapi tak apa. Saya sangat bersyukur kau mau bersekolah di sini," kata Mr. Grazer gembira. Alex agak tidak nyaman dengan pujian-pujian yang sedari tadi kepala sekolahnya berikan. "Kuharap kau bisa akrab dengan anak Saya. Ia seringkali masuk kelas yang sama dengan Emma."

Emma mengernyitkan dahi. "Anak Anda?"

Mr. Grazer mengangguk mantap. "Apakah dia tidak pernah cerita padamu? Astaga Edward seperti malu punya ayah seorang kepala sekolah!" Ia lalu tertawa sendiri. "Ya.. wajar saja. Ia ingin punya ayah seorang astronot. Bukankah itu mustahil?"

Emma dan Alex saling pandang. Biarlah Albert yang merespon semua itu. Setelah setengah jam membicarakan Alex dan otak yang dimilikinya, mereka pun keluar ruangan. Alex sudah menggenggam kertas jadwalnya.

"Bukankah ini tidak adil?" Alex bersuara, menatap Albert dan Emma.

"Sudahlah. Ini kesempatan yang baik untukmu. Satu minggu tanpa MOS dan pelatihan mental tidak akan merugikan. Setidaknya tidak buang-buang waktu. Kau bisa fokus ke pelajaranmu." Albert menjawab dengan santai.

"Itulah masalahnya. Aku ingin seperti anak-anak lain. Dua minggu itu bisa saja sangat berharga bagiku. Dan sekarang? Kepala sekolah ingin menaikkan reputasi Effingham dan mengambil kesempatanku untuk tidak ikut MOS!" Alex terus menyerocos sampai Emma terpaksa menutup mulutnya.

"Aku tahu kau ingin sekali ikut kegiatan itu," kata Emma. "Tapi aku hanya ingin mengingatkanmu lagi, bahwa MOS dan pelatihan mental memang ditiadakan untuk tahun ini. Itu bukan berarti kau menerima perlakuan pilih kasih dari Mr. Grazer. Ingatkah dengan ledakan itu? Semua orang trauma, Alex. Kau sering salah menyimpulkan sih."






HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang