Hai Hari Ini

27 9 0
                                    

Alex tidak mengerti bagaimana bisa Emma dituduh bersalah oleh Ms. Darin.

"Madam, aku berani bersumpah Emma tidak pernah menuliskan hal kasar seperti itu! Aku ini saudaranya! Kau tidak bisa menuduhnya begitu saja." Alex menahan gemuruh di dadanya. Ia menjelaskan kepada Ms. Darin yang sedang tercenung melihat Alex bisa seberani itu membela Emma.

"Alex, dengar baik-baik. Aku tidak menuduhnya. Interogasi dan wawancara seperti ini memang biasa dilakukan di ruang konseling," jelas Ms. Darin prihatin. Ia menatap Emma yang terlihat khawatir Alex akan kembali meletup-letup.

Emma menyentuh paha Alex dan mengusapnya. Alex menoleh sejenak dan bertanya kepada Ms. Darin, "Apakah kau benar-benar berpikir Emma melakukannya?"

Ms. Darin bersandar di kursinya yang berdecit. "Karena tidak ada bukti, aku tidak bisa memberinya hukuman."

Alex ikut bersandar, dadanya kini terasa lega dan tak lagi bergemuruh. "Maaf, Madam. Saya lancang. Saya hanya takut hal yang lebih buruk terjadi," jelas Alex.

Emma ikut menghela nafas diam-diam. Satu hal yang ia lupa soal sekolah adalah menceritakan sistem bimbingan konseling kepada Alex. Karena selama yang Alex tahu, guru konseling selalu menuduh tanpa bukti. Padahal tidak seperti itu.

Ms. Darin mengangguk paham. "Tidak apa-apa. Aku mengerti ini tahun pertamamu di sini. Kau harus lebih mengatur emosimu, ya," katanya sambil sesekali tersenyum.

"Apa yang harus kulakukan sekarang, Madam?" tanya Emma meminta saran. Sebetulnya ia sudah memiliki ide agar pelaku bisa ditemukan.

Tak lama Ms. Darin menjawab sesuai dugaannya, "Kita lihat CCTV sekolah."

~~~

Nihil.

Kamera CCTV sudah mati saat Emma, Alex dan Ms. Darin masuk ke ruang arsip. Anehnya, tak ada siapa-siapa di sana. Ms. Darin menghubungi seorang guru untuk menanyakan dimana Mr. Terry sang penjaga ruang arsip--atau ruang CCTV ini berada.

"Lalu mengapa CCTV dimatikan?" Ms. Darin bertanya melalui teleponnya. Alex dan Emma berharap-harap cemas. Seseorang di seberang sana menjawab sesuatu dan Ms. Darin mengusap dahinya frustasi. "Oke, baik. Terima kasih." Ms. Darin menutup teleponnya. Ia menghadap Emma dan Alex.

"Jack pun sedari tadi mencarinya," ujar Ms. Darin.

"Lalu?" tanya Alex.

"Terry entah kemana." Jawaban Ms. Darin membuat misteri. Namun, karena tak ingin berlama-lama dalam masalah ini, Emma meminta izin untuk menyalakan kamera CCTV lagi kepada Ms. Darin.

"Aku memberi kalian hak untuk membuka komputernya," kata Ms. Darin mengizinkan.

Alex dan Emma mulai menyalakan komputer dan CCTV. Tampak beberapa kotak menampilkan lokasi setiap sudut di Effingham School saat ini.

"Bisakah lompat ke rekaman sebelumnya?" tanya Emma kepada Alex yang dahinya sedang berkerut di depan layar komputer.

Alex menekan tombol rumit dan tidak menemukan rekaman apa pun. "Tunggu," gumamnya.

Alex berhasil memundurkan video sampai ke pukul 11.10. Koridor tampak lengang, hanya ada satu orang yang berjalan dengan santai memasuki ruang arsip. Punggungnya yang tegap membelakangi kamera.

Lalu setelah lelaki jangkung dan besar itu masuk, rekaman menjadi gelap.

"Kamera sebelah utara," perintah Emma. Alex menurut. Namun sayangnya, kamera sebelah utara berada sangat jauh dari titik kamera pertama. Sehingga pintu ruang arsip tidak terlihat sama sekali.

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang