Filsafat Seni

29 4 0
                                    


Robert berhasil membuat kebahagiaan Emma bertambah dua kali lipat. Emna diizinkan untuk makan es krim adalah keajaiban luar biasa. Emma tak berhenti tersenyum, pipinya yang mulus sampai terasa pegal.

"Kau tampak bahagia sekali hari ini. Aku senang melihatnya," kata Robert sambil mencubit pipi Emma dengan gemas di dalam mobil.

Emma menoleh. "Aku juga tidak tahu. Moodku sedang bagus mungkin."

Emma menatap jendela. Deretan perumahan berjajar sepanjang jalan. Lalu ia berpikir, ya... Apa yang membuatku begitu bahagia hari ini?

Robert mengusap dagu yang ditumbuhi sedikit bulu dan berujar, "Apa kau sedang jatuh cinta?"

"Hah?" Emma tidak bisa menutupi kekagetannya.

Robert mengangkat alisnya sekejap, pandangannya lurus menyetir. "Aku yakin seratus persen."

Emma menatap ke arah depan. "Entahlah."

Sayangnya, Robert tak berhasil memancing Emma. Adik cantiknya itu tidak tahu bahwa Robert menangkap raut wajah ceria itu akhir-akhir ini. Robert sering mengintip kamar Emma ketika ia tengah menatap ponsel sambil terus menerus menyunggingkan senyum. Robert yakin, Tom-lah yang berhasil membuat Emma kembali bahagia.

Mereka sampai di rumah tak lama kemudian. Seperti biasa, rumah begitu sepi. Emma berpikir ingin sekali memiliki kucing peliharaan. Tapi Albert tidak mengizinkan, dengan alasan kesehatan Emma.

Sebelum masuk kamar, Emma menghampiri Robert. "Aku ingin punya kucing."

Robert berhenti di anak tangga bawah. "Kucing?"

Emma mengangguk. "Iya."

"Besok kita cari," ujar Robert. Mendapat kebahagiaan lainnya, Emma merasa ingin berjingkrak-jingkrak. Tapi ia tidak biasa menampakkan perilaku ekspresif sebegitunya di depan kakak-kakaknya.

Emma begitu gembira, ia langsung memenuhi buku diarynya dengan menyebutkan semua rasa syukur yang ia rasakan akhir-akhir ini. Emma menulis; bagaimana ia bisa melawan anxietynya secepat yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Nilai tes lisan yang memuaskan, Robert yang selalu meluangkan waktu, guru yang baik seperti Mr. Taylor, dan Tom yang sering mengirim pesan kepadanya—barangkali itupun adalah alasan utama kenapa Emma tidak pernah terlihat murung sama sekali.

Emma menopangkan dagu di tangan kanannya. Ia membayangkan betapa banyak hal-hal mudah yang terjadi secara berurutan—meskipun Alex mulai sering main bersama teman-temannya, namun entah mengapa Emma tidak merasa kesepian.

Ia lalu meraih ponselnya dan membuka kolom chat miliknya. Senyumnya tidak secerah tadi, karena tidak ada pesan dari Tom lagi sejak kemarin malam.

Ah, mungkin sibuk.

Emma membaca ulang chat-chat dengan Tom. Semua seolah mencair semenjak Emma mengantar Alex berkonsultasi ke rumah Bibi Jade beberapa minggu yang lalu. Setelah itu, Tom sering menanyakan kabar Emma atau sekadar berbasa-basi.

Hati Emma melambung tinggi. Ada secercah harapan yang tumbuh di sana.

Emma mematikan ponselnya saat mendengar suara pintu kamar Alex tertutup. Kakinya langsung berlari ke sumber suara.

Kamar Alex tidak dikunci. Jadi seperti biasa, ia masuk begitu saja.

"Alex?"

Ada tas dan jaket yang dilempar secara asal di atas karpet kamar. Emma berjalan ke dalam kamar mandi milik Alex dan langsung mendapatinya sedang terduduk di dekat toilet sambil muntah-muntah.

Emma menghampirinya dan memegang pundak Alex.

"Kau kenapa?" tanya Emma cemas.

Alex muntah lagi. Emma tahu apa yang harus dilakukannya; memberi tisu dan mengusap-usap tengkuk.

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang