Cerita Singkat di Ruang Makan

16 3 0
                                    

Tom menggigit roast beefnya dengan sangat hati-hati. Kelopaknya tidak melebar. Ia mengunyah makanan secara kaku, lebih kaku dari Emma yang duduk di seberang meja. Lelaki itu tidak berbincang dengan siapapun kecuali kepada kepalanya sendiri yang terus berkata Emma semakin cantik. Jadi, ia menahan diri agar tidak melihat gadis itu.

Emma mengobrol seru bersama Bibi Jade tentang film drama Spanyol yang sudah mereka berdua tonton. Alex bercerita panjang lebar soal sekolah barunya kepada Paman Peter yang hatinya bangga dengan adaptasi baik Alex di Effingham. Miller dan Robert bercakap-cakap soal bisnis bersama Chris di ujung meja.

Hanya Tom yang merasa sendiri. Berusaha sebisa mungkin mendengarkan setiap kata yang Emma lontarkan. Terdengar begitu menenangkan hati Tom. Sudah lama ia tidak merasakan hal itu. Siang ini, ia mendapatkan suara itu kembali. Hanya saja, bukan menjadi siapa-siapa.

"Uhk!" Tom tersedak. Ia batuk-batuk, berhasil membuyarkan semua orang di meja makan untuk melihatnya.  Paman Peter yang berada di sebelah Tom mengulurkan segelas air putih, tapi Tom melambai menolaknya.

"My dear.." Bibi Jade ikut bersuara, memastikan Tom bisa mengatasinya.

"I'm sorry." kata Tom kepada mereka, yang akhirnya berhenti batuk.

Miller tersenyum. "Huft.. syukurlah..." ucapnya lega.

Emma menangkap ekspresi sayang Miller untuk Tom. Itu memang hal yang baik, tapi membuatnya sedih.

Semua pun kembali seperti sedia kala. Tom melirik Emma sejenak saat hendak mengambil garpunya lagi. Emma tahu Tom menatapnya, ia pun buru-buru menunduk dan memilin-milin makanannya.

Alex meminum airnya, kelelahan bercerita terlalu banyak kepada Paman Peter.

"Anak ini lelah kayaknya," komen Paman Peter diselingi tawa kecil.

Rumah Anderson begitu ramai dan penuh keterikatan antar keluarga. Miller menikmati kunjungan itu dan mensyukuri masih ada pengganti sosok orang tua yang peduli padanya. Disaat paman dan bibi kandung  dari keluarga inti sendiri berada jauh di berbagai negara. Berpisah-pisah, dan hanya bertemu saat natal atau pertemuan keluarga besar saja.

Namun, kebahagiaan itu tidak sepenuhnya dirasakan oleh Emma dan Tom yang mendapati suasana canggung, yang hanya dirasakan antara mereka berdua saja.

Emma menggerutu dalam hati, kenapa ia harus duduk berhadapan dengan mantannya sendiri. Walaupun meja itu begitu besar dan mereka berdua tidak mungkin saling menggapai tangan.

Emma menatap Alex yang lahap dengan makanannya. Anak itu biasanya tukang ngatur tempat duduk bila sedang berkumpul. Emma curiga Alex sudah menyiapkan kursi kosong ini khusus untuk Emma sebelum gadis itu keluar dari kamarnya.

Alex menyadari tatapan itu dan membuat raut duck face sambil meledek.

"Awas kau!" gumam Emma seraya mengangkat pisau di tangannya sebagai ancaman. Tom melihat pemandangan itu. Ia tidak bisa menahan matanya untuk terus menatap Emma yang tidak tahu sedang diperhatikan.

Ia ingin sekali meraih gadis itu kepangkuannya lagi. Tapi, ia pun harus memastikan Emma sudah memiliki kekasih baru atau belum.

Emma menatap Tom yang sudah tidak bisa bergerak untuk berpura-pura mengalihkan perhatian. Mereka berdua saling tatap dan sama-sama terpaku. Akhirnya, Tom tersenyum begitu kikuk. Emma termenung kaku bagaimana cara membalasnya. Tom menggerling ke piringnya dengan perasaan tak karuan. Emma tak sadar kejadian itu terjadi begitu saja.

Harusnya kau senyum juga! Lihat, 'kan dia kecewa!

Siapa juga yang kecewa? Jangan geer!

Kepalanya berdengung, sakit sekali. Ia berusaha untuk menahan dada kirinya yang berdenyut kencang. Emma hendak menancapkan garpunya ke makanan miliknya, tapi seketika ia terkejut sendiri bahwa darah segar masih berada di atas dagingnya. Ternyata, ia menyadari sesuatu.

Emma membelalak dan buru-buru menutup hidungnya. Mengucapkan permisi dengan malu dan berlari ke kamarnya.

Miller ikut menyingkir, ia panik melihat Emma kembali nose bleed secara tiba-tiba. Emma berlari ke kamarnya secepat angin. Tom sempat melihat hidung Emma mengeluarkan darah. Ia berhenti mengunyah dan suasana di meja makan menjadi tegang.

Genggaman garpu Alex mengendur. Tak terbayangkan bagaimana rasanya jika penyakit Emma akan semakin parah. Robert dan Paman Peter sangat kooperatif untuk mencairkan suasana. Tom dan Bibi Jade saling lirik, melontarkan kekhawatiran dalam diam.

Sekali lagi, Tom menggerling ke kamar Emma. Belum ada tanda-tanda gadis itu akan bergabung dengan mereka lagi.

Berbeda dengan Alex, Tom semakin menggenggam garpunya kuat-kuat.

Bagaimana jika aku kehilangan Emma?

Begitupun dengan orang-orang di sana, menyadari bahwa Emma perlu perhatian lebih dari semua orang.

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang