Tugas dan TDC

37 11 0
                                    

Emma mencubit pipi Alex yang mulai merah karena jerawat. "Puber, puber! Puber, puber!" Ia terus berujar, tak peduli Alex yang meringis dan tersiksa.

"Bisakah kau diam sebentar, Emma? Aku lagi ngerjain tugas nih!" Alex mendorong kepala Emma untuk menjauh, namun anak itu tak kunjung beranjak dan hanya menganggu kakak lelakinya. "Astaga Emma!" Alex merasakan tekanan mematikan yang diterima jakunnya.

"Itu resiko! Jakun sudah muncul bertahun-tahun tapi baru berfungsi sekarang," kata Emma puas meledek.

"Daripada kau belum period diumur segini!" Alex langsung mengira Emma sakit hati dengan ucapannya tadi. Tapi, gadis itu masih diam, tak menunjukkan kemarahan apa pun selain senyumnya yang mengendur. "Emma," panggil Alex mulai merasa bersalah.

"Sudah tak apa-apa. Memang lebih baik aku membiarkanmu mengerjakan PR saja," ujar Emma dan beranjak pergi ke dalam kamarnya. Alex tercenung di atas karpet ruang TV. Miller melipat korannya dari sofa ruang tamu, lalu menghampiri Alex yang sudah kehilangan fokus.

"Lain kali, jika bercanda jangan bawa-bawa hal yang dikhawatirkan orang lain," kata Miller, ia mulai menyentuh kepala Alex. "Kau tidak pernah tahu 'kan sebesar apa ketakutan mereka jika hal itu terjadi?" Sejauh ini Miller mulai mempelajari banyak hal mengenai parenting dan etika. Ia berubah menjadi sosok yang jauh lebih baik. Perceraian membawa kedewasaan baru baginya.

Alex membuang nafas, ia selalu saja mengatakan hal yang salah secara refleks. Ia sama sekali tidak bermaksud menyinggung apa pun soal kesehatan Emma. Miller menarik buku tugas Alex yang setengah halamannya sudah penuh oleh tulisan, entah apa.

Miller terkekeh. "Jujur saja, tulisanmu tidak sebagus wajahmu."

Alex menyambar bukunya. "Tulisanmu juga jelek!"

"Iya benar. Tapi yang orang lain butuhkan dariku hanyalah tanda tangan dan hasilnya kau bisa beli video game," jawab Miller bangga. Alex berhasil skakmat dibuatnya.

"Sombong," cibir Alex. Miller tersenyum tipis. Ia senang melihat Alex yang mau bersekolah dan mulai penasaran dengan dunia luar.

"Bagaimana sekolahmu?" Miller tak tahan untuk tidak bertanya. Sudah hampir dua minggu dan Alex belum bercerita apa pun kepadanya. Dan itu disebabkan oleh Miller yang seringkali pulang larut.

"Sedari tadi aku menunggu pertanyaan itu," ujar Alex, menulis lagi. Ia pun sebenarnya sangat berharap Miller memberi perhatian kepadanya. "Puji Tuhan orang-orangnya--cukup menyenangkan, yeah." Alex berusaha untuk tidak terdengar ragu. Ia ingin berkata, 'Orang-orang begitu menyebalkan dan menakutkan! Apalagi ceweknya! Uh!' Tapi ia tahu Miller akan bersedih bila mendengarnya.

"Bagaimana dengan Emma?" tanya Miller lagi. Nalurinya berkata ia cukup mengkhawatirkan Emma akhir-akhir ini. Tanpa Emma tahu, Miller selalu datang ke kamarnya dan mengusap rambutnya yang--baru Miller sadari--begitu lembut dan wangi.

Alex duduk tegak, menatap tulisannya yang besar-besar dan berantakan. "Dia baik. Semua baik," kata Alex. "Aku jadi tahu ternyata dia mendapat perhatian yang begitu besar di sekolah."

"Maksudmu?" Miller masih tak paham. Tentu saja ia tak paham karena selama ini yang ia tahu hanyalah nilai akademik Emma dan hasil ulangannya saja.

"Maksudku, semua orang mengakui dia begitu berbeda dari yang lain. Dia terlihat istimewa. Ya, mungkin ini terdengar agak berlebihan. Tapi ketika di sekolah tadi, aku jadi ingin melihat sosoknya dari sudut pandang yang lain," jelas Alex, ia menghela nafas. "Dan selama dua minggu ini aku mencoba untuk melihat Emma dari seorang bocah seumuranku yang meliriknya selagi kami berjalan menuju kafetaria. Dan aku menyadari, ternyata Emma bukan tipikal sosok cewek kebanyakan. Ia berbeda."

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang