52 - Mangga dalam Kolornya

5.1K 1.5K 862
                                    

jual permenrasanya mantepspam komenbaru cakep

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

jual permen
rasanya mantep
spam komen
baru cakep

=====*=====

Daerah belakang rumah Bu Bella tampak tidak terawat, banyak rumput liar yang tumbuh sembarangan mengitari sisi-sisi tembok yang tinggi sukuran dada. Beberapa pecahan genteng terlihat berserak di area menuju arah belakamg rumahnya.

"Ini kalian nggak pernah bersih-bersih apa?" tanya saya karena berbeda sekali dengan rumah milik saya pribadi yang ada di Mandala Sari. Tahulah ya bagaimana kata orang, kalau lingkunganmu mencerminkan siapa dirimu. Padahal bu Bella itu cantik, bersih dan tampak terawat, sayang sekali belakang rumahnya malah berantakan.

"Mau ngapain Om diberesin juga bakal tetep sama aja, kacau." Itu si Bonbon yang ngomong karena kami berniat mengambil mangga di belakamg rumah Bu Bella, si Asti sama si Rian saya suruh jaga warung bersama Pak RT. Sedangkan anak Kosan Ganteng sama saya akan memgambil buahnya. "Bu Bella juga suka buang sampah ke sungai, Om."

"Sungai?" Saya tidak mendengar ada tempat itu di sekitar sini sekarang, alirannyapun tak terdengar dan kalau dilihat-lihat jalannya buntu. Oh tidak, ternyata ada belokan dan dari sana baru kelihatan pohon yang dimaksudkan. "Nggak boleh tahu buang-buang sampah sembarangan gitu."

"Tapi kan cuma seminggu seklai Om Bu Bella buang sampah ke sungainya."

"Kalau dalam seminggu sekali itu yang busng sampah lebih dari 100 juta orang Indoensia gimana? Belum lagi warga dunia?"

"Ya bahaya juga ya, Om," sahut si Luqi.

Ya iyalah bahaya kalau nggak bahaya nggak mungkin ada gerakan jangan buang sampah sembarangan. Ada-ada saja mereka.

Begitu tepat berada di bawah pohon mangga yang buahnya cukup lebat meski belum matang, barulah terdengar aliran sungai dari atas sini. Sungainya ada di bawah dengan air keruh, kalau lempar sampah memang tidak akan kelihatan karena alirannya juga deras. Itu sungai yang cukup besar tapi tidak begitu menyeramkan.

"Ini kalau mangganya diambil nggak akan marah 'kan?"

"Nggak tahu, tapi Bu Bella suka bikin manisan dari ini. Kalau ada yang minta juga suka dikasih."

"Oh berarti boleh. Ya udah siapa yang mau naik?" Saya menunjuk mereka bergantian tapi tak ada yang bersedia melakukannya, kalau si Bonbon yang manjat bisa-bisa pohonnya kesakitan nahan beban. "Luqi kamu nggak bisa?" Mengegleng. "Kalau kamu, Gar?"

"Bi-bisa." Dia melangkah ke hadapan pohon besar itu, lalu jaketnya dibuka agar tidak menghambat pergerakan tubuhnya. "Mau ambil berapa, Om?"

"Nggak usah banyak-banyak, dua puluh aja."

"Buset, segitu banyak Om. Udah kayak mau jualan aja," komentar si Bonbon dengan raut herannya.

"Kan saya emang penjual, kamu ini gimana sih." Benar kan? Selain penjual kopi kan di warung juga tersedia menu jus buah, kalau buah buahannya habis mau gimana jualan saya? Walaupun mangga ini mangga muda yang belum begitu matang, tapi kalau sudah diblender campur gula dan minumnya di depan saya pasti akan merasa kemanisan. "Ya sudah, Gar, seadanya aja. Kalau bisa semuanya juga nggak apa-apa."

Dia sudah mulai naik ke atas pohon, tekstur kulit pohon mangga yang kering membuat suara-suara yang khas kala bersentuhan dengan kulit. Kadang bisa berdarah jika terperosok dan berpegangan terlalu kuat. Di setiap batangnya pasti saja ada semut, sepertinya hewan kecil hitam agak jelek itu memang ditakdirkan menghidupi pohon, rasanya setiap kali dilihat dari dekat pasti ada saja kawanannya.

Ngomong-ngomong soal semut, "Di sini pasti ada kuburan ya? Atau pernah ada kuburan?"

"Kuburan? Om tahu dari mana? Bu Bella nggak pernah cerita," sahut si Bonbon dengan wajah penasarannya.

Saya tanya, sorang penyewa kost mana yang mau cerita dulu kalau dulunya tempat aset yang dia bangun adalah kuburan. "Ya kalau bilang dulu mana mungkin kosannya laku."

"Iya juga sih, Om. Ta-tapi saya belum pernah alamin hal-hal mistis di sini." Dia memeluk tubuhnya sendiri lalu melihat kanan kiri.

"Positif kelingking aja, mungkin setannya juga takut sama kamu, Bon."

"Thinking, Om. Bisa jadi sih, soalnya temen kampus saya juga bilangnya saya mirip genderuwo."

Saya berdecak, kalau teman kampusnya bicara begitu mah saya juga tidak kaget. Sedikit ada kemiripanlah antara BonBon dan genderuwo, selain badannya sama-sama gempal, namanya juga memiliki huruf O. Kalau teman kampusnya bilang si Bonbon mirip tuyul baru saya heran, tuyul mana yang badannya segede tong air yang oren gambar burung bangau itu? Becanda, enggak segede itu sih sebenarnya, yaaa, tong yang biru deh kayaknya.

"Suka-suka teman kampus kamu saja deh, Bon."

"Eh tapi, Om. Waktu aku mandi malem, pernah tahu ada yang nangis. Shower juga tiba-tiba mati sendiri. Itu lho Bon yang pas mati listrik."

"Yeuu! Itu kan karena mati listrik. Bikin kaget aja lu ah! Yang nangis juga elu karena nggak ada air."

Dikarenakan terlalu asik membicarakan soal kuburan sampai lupa kalau si Egar sedang menaiki pohon mangga. Menengok ke atas, YA AMPUN! "Gar, kamu kenapa malah meluk-meluk pohon begitu? Kasihan hei!" Mana bulu keteknya terekspos ke mana-mana lagi, kalau pohon mangga punya hidung juga pasti dia akan protes saat mencium aroma ketiak yang semerbak, paling enggak menyeburkan anak laki-laki yang menaikinya itu ke sungai.

"Saya takut, Om!" serunya. "Tapi udah dapet beberapa."

Bebrapa? Saya tidak melihat ada mangga di tangannya. "Mana?"

"Itu kok benjolan si Egar jadi tiga gitu sih, Bon. Nambah sisi sama sisi, yang tengah agak kempes," bisik si Luqi kedengaran sampai telinga saya.

"Yang tengah itu bukan buah mangga, tapi buah zakarta."

"Ekhem!" Saya berdeham karena tahu nih maksud perkataannya. "Kenapa jadi pada bahas buah yang tengah. Itu kasihan teman kalian ketakutan gitu!"

"Ayo, Gar! Terus menyerah dan jangan semangat!!" pekik si Luqi percaya diri. Saya dorong ke sungai juga itu anak lama-lama.

"Buah kamunya jangan disimpen di celana, Gar! Lempar aja biar buah yang lain nggak iri, fokus sama buah yang belum kamu ambil!" pekik saya karena mau gantian naik juga sudah kepalang, pohon mangganya tinggi. Saya tidak takut kok kalau harus manjat, beneran saya tidak takut.

Dia mengangguk sembari melempar mangga yang tadi dimasukkan ke dalam celananya perlahan. Lihat? Kantung celananya sekarang jadi lepek karena tadi penuh oleh mangga menjadi kosong melompong diisi angin saja. Yang bertugas mengambil tangkapan adalah saya, kenapa? Ya karena saja jagolah masa karena saya suka menangkap.

"Ayo ambil lagi, Gar!" Suara siapa yang paling aestetic? Iya itu seruan saya.

Lelaki dengan kaus garis-garis tanpa hoodie itu beranjak ke satu dahan pohon yang lainnya lagi, jarak dari dahan satu ke dahan yang lain cukup berjauhan sehingga membuat kaki panjangnya harus berjuang lebih keras.

"Gar!" pekik si Luqi. "Punya lo barusan kelihatan!"

"Apanya?" jawab dia kebingungan takut-takut menatap ke bawah. "Punya gue?"

"Iya. Kolor!"

"Warna apa?"

"Biru!

"Jangan dilihat!"

"Iya!"

Saya sampai shock sendiri mendegarnya, kenapa acara ambil mangga jadi bahas masalah perkoloran? Mana nanya warna apa segala lagi padahal dia yang pake, lagipula kan yang namanya celana pendek apalagi bahan halus memang mudah sekali melar jadi wajar saja isinya kelihatan.

"Bisa diem nggak?! Jangan sampai pohon pisang itu saya kagetin copot jantungnya!" bikin kesal sekali mereka. Huft!

-= EKSPEDISI WARUNG KOPI =-

Apa warna kolormu sob?

Kayaknya sebentar lagi perjalanan warung kopi ini aka berakhir.

spam "NEXT" agar cahpternya bertambah.

Ekspedisi Warung KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang