16 - Pasar Rabu Tidak di Hari Rabu

7.5K 2K 203
                                    

"Dikira kambing kali kita, Yan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dikira kambing kali kita, Yan. Nyebelin banget sih Om Diyat!"

"Ssst! Nanti kedengeran, dipotong gaji tahu rasa lu behel!"

Haha. Percakapan si Asti sama si Rian di bak pic-up terdengar sampai ke bagian kursi kemudi yang berisikan saya dan Bu Dara. Sengaja mengajak mereka biar berguna dan nggak berulah di warung saya, siapa tahu nanti butuh bantuan angkat-angkat kan lumayan ada kuli panggung borongan. Sepanjang jalan kami hanya terkekeh mendengarkan keluh kesah si Asti yang tak berhenti sedari tadi.

"Banyak orang lagi, Yan. Malu banget anjir."

Mobil berhenti. Saya membuka pintu, Bu Dara juga sama. "Ayo turun."

Pasar Rabu. Padahal sekarang hari ... eh sekarang hari apa? Entahlah, yang pasti harusnya sama dengan tanggal kemarin tanggal 18. Bau asap kendaraan di parkiran, lalu lalang orang-orang dengan tentengan belanjaan juga beberapa ikan di tepi jalan bisa langsung disaksikan.

"Om nanti Asti mau di depan juga dong. Males ah di belakang panas."

Setelah drama susah turun yang dibantu si Rian, asti angkat bicara atas keputusan yang saya berikan padaanya. Harusnya mereka tidak mengeluh, baknya juga bersih. Tinggal pake terpal terus diisi air, jadi-la kolam renang.

"Bu Dara kasihan Asti ... kalau kamu di depan terus nanti Bu Dara di mana?" jawab saya sembari memastikan kunci mobil sudah saya pegang.

"Bu, gantian---"

"Maafin dia, Bu." Si Rian cepat menutup mulut rekan kerjanya. "Malu-maluin si lu, nanti gue pinjemin jaket dah kalau kepanasan," bisiknya penuh penekanan.

Pernah lihat kardus melayang ke sana ke marai di udara? Sama saya juga belum pernah. Sekarang di pundak orang-orang banyak barang, ada beras, kardus, beras lagi, kardus lagi juga ... anak kecil yang manja sekali.

"Ayo atuh langsung masuk aja, yuk!" ajak Bu Dara yang langsung disetujui.

Ibu bubur itu memimpin jalan kami, penjual pasar sesekali melirik, mungkin di pikirannya saya dan dua orang di belakang adalah anak Ibu Bubur. Kalau dibaca isi pikirannya kira-kira seperti ini : "Lhoo itu anaknya Bu Dara udah gede-gede, mana yang depan cakep bener."

Pasti begitu, cuma saya nggak mau geer aja.

Lanjut berjalan, penjual tomat memamerkan dagangannya yang merona. Di sebelahnya ada cabai dan bawang-bawangan. Nah kami berhenti di penjual sebelahnya lagi, karena di sana ada sayuran, bumbu-bumbu dan telur.

"Sabara ieu mang?" tanya Bu Dara. [Berapa ini, Mang?]

"Telurnya dua puluh tiga ribu, sekilo. Bayamnya delapan ribu dua iket, kalau satu lima ribu," jawab Bapak berkopiah hitam, baju biru lusuh itu. Sekedar informasi, baju saya sekarang warna putih.

Dengan luwes Bu Dara mengambil bumbu-bumbu yang dibutuhkan dan beberapa kebutuhan dapur lainnya. Ada yang kemasan warna merah, kuning, hijau, kayak pelangi tapi beda rasa, kayak ... ah sudahlah. Sibuk beliau memilih, eh si Asti sama si Rian malah berpangku tangan melihat-lihat sekitar sembari sesekali terhimpit para pembeli yang melewat di jalan yang sama.

Ekspedisi Warung KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang