53 - Muncrut, Mencret Sampe Muncrat

5.5K 1.5K 1.5K
                                    

- gak komen -- kita end -

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

- gak komen -
- kita end -

=====*=====

Saya perhatikan data itu setelah mencuci tangan untuk menghilangkan getah mangga, sedangkan buah mangga yang diambil sedang dicuci oleh si Asti dan si Rian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saya perhatikan data itu setelah mencuci tangan untuk menghilangkan getah mangga, sedangkan buah mangga yang diambil sedang dicuci oleh si Asti dan si Rian. Senyuman tiba-tiba saja mencuat melihat bagaimana satu persatu kolom buku besar mulai penuh oleh pencapaian misi.

Tidak menyangka bahwa kisah perjalanan yang menyebalkan ini akan segela berakhir setelah menyelesaikan tiga bar teka-teki lagi karena yang satu sudah pasti akan terjawab di esok hari. Dipikir-pikir hebat juga saya bisa sampai di titik ini, keren karena bisa bertemu orang-orang dengan banyak macam sifatnya selain orang-orang di Mandala Sari.

"Lihat buku udah kayak lihat foto gebetan aja, Om," celetuk si Bon-Bon yang duduk di kursi dengan meja digabungkan agar panjang dan lebih nikmat merujak buahnya. Pak RT juga masih setia di sana tidak dicarikam sang istri atau pergi menemui urusan yang lain. Sungguh RT yang mengutamakan kesenangan daripada pekerjaan.

"Buku ini lebih indah daripada foto gebetan, Bon." Saya tutuplah buku itu lalu dimasukkan kembali ke dalam etalase khusus menyimpan alat tulis Yang Kusayang. Dia tidak tahu saja seberapa keras usaha agar bisa tersenyum melihat benda yang awalnya menyebalkan itu. Tapi, kalau dibandingkan dengan Marni, buku besar tidak ada apa-apanya.

"Ngaco ah Om, mending lihat cewek cantik yang berbentuk daripada putih datar kayak kertas itu." Enteng sekali dia bicara, sudah seperti hatam saja masalah perempuan. Dia juga pasti tersenyum kalau berada di posisi saya sekarang.

Duduk di sebelah mereka, aroma cabai yang dihancurkan menguar kuat ke hidung. Si Egar sedang membuat sambal untuk rujak kali ini, dia pandai juga mengulek sampai bahan-bahannya benar-benar hancur di cobek batu itu. Irisan gula dimasukkan dengan beberapa asem agar semakim segar.

Dulu di kampung saya waktu kecil lebih sering menyebutnya petis, entahlah bahasa mereka kenapa disebut rujak. Pokoknya sama-sama pakai buah-buahan untuk dicocol nikmat dengan sambal pedas yang berbeda dari omongan tetangga. Omongan tetangga kan kalau sudah pedas tidak bisa dinikmati, kalau rujak bisa sampai berkeringat saking nikmat.

Ekspedisi Warung KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang