Suara keran terdengar nyaring saat dinyalakan karena saya tengah mencuci tangan, sabun yang diusap maju-mundur di tangan sudah mengeluarkan banyak busa. Ini semua karena si Asti, kalau dia tidak bicara sembarangan pasti saya tidak harus cuci tangan sampai tujuh kali seperti ini.
Bukan apa-apa, saya takut mulutnya menyisakan bakteri berlebih. Maaf Asti tapi kalau tidak salah banyak bakteri di orang yang pakai kawat gigi, kalau bakterinya singgah ke tangan saya terus menetap dan merasa mantap kan saya jadi kalap. Kalau jadi sakit bagaimana? Kalau jadi gatal-gatal bagaimana?
"Om Diyat apaan sih, Asti kan nggak najis. Kenapa harus cuci tangan sampe tujuh kali coba?" ucapnya bersilang tangan di samping kompor memperhatikan.
"Nggak kok, Sti. Saya cuci tangan bukan karena kamu najis, tapi karena harus menjaga kesehatan."
"Maksudnya Asti menyebar penyakit gitu? Om pikir Asti virus?"
"Saya nggak bilang gitu. Ihh pikirannya jahat mulu. Potong gaji, nih!"
"Eh jangan, Om. Maaf."
Huuft! Meskipun alasan saya cuci tangan emang karena si Asti, tapi bagaimana mungkin mengatakannya karena dia? Bukankah terlalu jahat dan menyakitkan meski itu bisa saja ditanggapi bercandaan. Saya memilih tidak jujur saja jika berbohong memang jauh lebih baik.
Menciprat-cipratkan tangan lalu mengeringkannya dengan lap di dekat washtafel, sekarang sudah pink dan bersih juga steril tentunya. Kalau ada Marni saya akan jahili dia lalu mengelapkan airnya ke pakaian dia pakai sambil memasak terus kami lari-lari mengelilingi meja makan sambil tertawa, hahaha. Ah, sayangnya itu hanya mimpi saja.
"Nggak apa-apa sumpah, nggak apa-apa air nyiprat-nyiprat ke muka. Tapi mohon pengertiannya ya Om, itu air masuk mulut rasanya pahit." Lho? Ternyata cipratannya sampai ke wajah si Asti? Saya tidak tahu kalau sampai seperti itu, haha.
"Nggak sengaja, Sti. Kamu sih ngapain diem di sana?" Saya melihat cermin sebentar, wajah tampan ini pasti sedikit tampak kelelahan.
"Mau kumur-kumurlah, Om pikir dibekem pake tangan selebar itu nggak asin di bibir?"
Dia kenapa marah-marah sih? Kan wajar kalau asin, sudah seharian bekerja dan menyentuh banyak hal. Ketiak juga kalau gatal siang-siang saya garuk, mungkin dari sana sumber asinnya. Mungkin juga ada sumber lain, biasanya yang memiliki rambut suka terasa gatal dan kalau tidak sadar tangan suka garuk sendiri, saya tak tahu dari mana sumber pastinya.
"Ya udah maaf, Astiii." Suara air terdengar belebeb-belebeb di mulut dia, lalu dimuntahkan seperti orang mabuk. Di depan cermin wajah saya masih sempurna, hanya saja sedikit tampak kelelahan.
Kalau diperhatikan, di rahang saya sudah mulai tumbuh jambang lagi. Kali ini harus dicukur atau dibiarkan saja ya? Atau dipelihara seperti orang-orang Arab? Eh, tapi kalau dipelihara terus warga Mandala Sari nggak kenalin saya samabil nanya-nanya gimana? Apa harus saya jawab "A'na, A'na...," dengan logat Arab yang kental? Duuh jangan deh, kalau nanti dibilang pangeran Arab yang nyasar kan repot.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ekspedisi Warung Kopi
Humor[SUDAH DINOVELKAN] FOLLOW SEBELUM BACA BIAR GAK DOSA] • [Fantasi, Komedi, Misteri] ============== TERBIT, TERSEDIA DI TOKO BUKU KESAYANGAN KAMU Rank tertinggi : #3 Misteri #1 Kopi (dari ribuan cerita) Warung kopi dengan tulisan besar "Yang Kusayang"...