03 - Jinnya Cuma Sensus Separuh Kali.

22.1K 4K 968
                                    

--=*=--HAPPY READING-------•------

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

--=*=--
HAPPY READING
-------•------

Kebiasaan saya kalau sedang panik pasti mondar-mandir sembari gigit jari, seperti sekarang. Masih tidak habis pikir dengan kejadian pagi ini bisa-bisanya Yang Kusayang pindah ke tempat yang tidak kami kenal.

Entah berapa kali saya bolak-balik ke depan dekat spanduk menu lalu kembali lagi ke meja kasir yang ada si Astinya sedang baca istighfar sejak tadi, sebenarnya saya yang nyuruh dia beristighfar banyak-banyak karena dia yang paling lancar ngomong kalau panik begini, seribu sepuluh menit bisalah dia. Si Rian malah sibuk minum air dari dispenser, katanya biar nggak panik, tapi tetap saja dia ngos-ngosan.

"Sti, sudah dapat berapa istighfar?" tanya saya dengan masih memasang raut kebingungan.

"Baru tiga ratus dua lima Om. Masih lama nih nyempe seribu," jawabnya nyolong-nyolong baca sambil ngomong. "Udah ah jangan ganggu, nanti dikira nggak serius sama malaikat."

Benar juga, kalau doanya tanggung bisa-bisa tidak dikabulkan. Bahaya. Saya 'kan tidak mau telepati ke tempat asing seperti ini lagi, warganya juga nggak ada yang saya kenal. Dari tadi mereka cuma bersihin halaman rumah dengan sapu lidi. Rumahnya bagus-bagus tapi desainnya sederhana tanpa pagar, kalau dilihat-lihat seperti rumah-rumah di buku pelajaran Bahasa Indonesia anak SD.

Saya coba mampir ke depan, lalu melihat warung kopi kesayangan ini sambil diteliti, kali saja ada yang salah. Kalau perkataan Asti benar Yang Kusayang dipindahin Jin, kenapa juga Jin mau capek-capek mindahin warung kopi? Padahal selama ini saya suka berbuat baik, apa karena jarang zakat, ya?

"Kang Diyat, nuju ningalian naon?" Tiba-tiba saja seseorang memanggil, kok ada yang tahu nama saya?

Untung saja Bapak saya orang sunda, jadi mengerti apa yang ditanyakan sama Ibu-ibu sapu lidi itu. "Ibu ngomong sama saya?"

"Nya enya atuh ka saha deui. Leheung warungna buka enjing keneh."

Sebentar, sepertinya kalian tidak mengerti apa yang dibicarakan Ibu sapu lidi. Oke mulai sekarang saya akan tulis artinya juga, tapi jangan lupa pesan kopi ya kalau mampir ke warung saya. Balik lagi ke permasalahan, duuh jadi takut gini euy.

"Saya semangat aja sih Bu." Tengkuk yang tak berdosa saya garuk padahal sebenarnya tidak gatal, mata masih melihat-lihat sekitar, kali saja ada rumah Bu Kos atau Pak Londo. Eh nggak ada ternyata. "Ngomong-ngomong, kok Ibu tahu saya?"

"Ah kang Diyat mah sok kitu. Pan engges samingu muka warung kopi, maenya warga die teu teurang." Kang artinya kakak, atau sebutan untuk laki-laki yang sudah dewasa. Kalau orang korea biasa menyebutnya oppa dan hyung. [Ah kamu jangan begitu. Kan sudah satu minggu buka warung kopi, mana mungkin warga sini nggak tahu.]

Mata sipit saya timbul. "Ini kampung Mandala Sari?"

"Mandala Sari naon? Dicarekan Pak RT coba Kang meni teu teurang." [Mandala Sari apanya? Dimarahin Pak RT coba masa tidak tahu.] "Ieu teh kampung Cikapuas. Garut."

Ekspedisi Warung KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang