24 - Banyak yang Bohay-Bohay

6.3K 1.8K 211
                                    

"Emak, pengin es krim!" pinta seorang anak laki-laki menarik-narik ujung baju Ibunya yang tengah membeli pizza di Yang Kusayang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Emak, pengin es krim!" pinta seorang anak laki-laki menarik-narik ujung baju Ibunya yang tengah membeli pizza di Yang Kusayang. Memang cocok siang-siang begini makan es krim sebagai camilan.

Saya tahu kenapa wajah Ibu-Ibu itu seperti mengembuskan napas gusar, pasti dia ingin marah atas kebawelan anaknya. Setiap kali saya melihat dia hanya tersenyum setelah itu merasa muak lagi dengan rengekan bocah kecil yang terus mengusik tangannya agar mau membukakan lemari es krim di depan meja pesan.

"Mak pengin es krim. Pengin es krim!"

"Berisik!" sentak si Ibu, galak ternyata. "Ini nggak dijual sama Mas-nya. Iya kan Mas?"

Tersenyum, hanya itu yang dilakukan. Mau menjawab tidak takut disalahkan, mau menjawab iya berarti berbohong. Konyol rasanya meletakkan kulkas es krim di depan tapi tidak untuk dijual. Memangnya Yang Kusayang musium? Belum terpikirkan sampai ke sana. Maaf ya Dek, tapi emakmu mungkin takut kamu jadi sakit dan pilek.

"Tuh sama si Mas-nya aja nggak dijual. Udah ah jangan berisik." Tidak mungkin karena kekurangan uang sih kalau dilihat dari beberapa emas yang menempel di tubuhnya, insting seorang ibu-ibu yang takut anaknya sakit saja mungkin. Dia mendekatkan mulutnya untuk berbisik, "Kalau es krim yang dua ribu aja ada nggak Mas?"

Lho? Katanya jangan membeli es krim sekarang malah nanya berapa harganya, mana menanyakan harga paling murah lagi. Kacau. Seingat saya sih, harga es yang paling murah itu, "Ada yang dua ribu."

Tidak bisa dipungkiri meski saya menjual es krim, tapi rasa es krim dua ribu itu seperti sirup yang dibekukan. Terus setelahnya malah bikin sakit langit-langit mulut, meski begitu es krim masih bisa dikatakan lumayan.

"Kalau gitu dua deh yang dua ribu," cetusnya sembari membuka lemari. "Mana yang dua ribu?"

"Yang di bagian kiri warna hijau sama biru. Nahh... iya itu." Mengarahkan si Ibu untuk mengambil es krim.

"Mak pengin yang di wadah."

"Heh! Nggak dijual. Ini aja ya."

Mau tidak mau si anak menerima dengan cemberut tertanam di raut. Es krim di tangan dia tatap lama, membuka bungkus lalu dijilatnya. Si ibu pun sama menyantap es krim sembari sesekali melihat ke arah dapur. Pasti berulah lagi.

"Lama banget ya bikin pizzanya?"

Apakah sudah selama itu?

"Tolong dicepetin ya, Mas. Anak saya sudah laper, nih. Iya 'kan nak?" Si anak tidak menjawab, kesal masih tertanam di wajahnya. "Tuh dia laper."

"Ini, Bu. Sabar." Akhirnya si Asti keluar dengan memasukkan pizza ke dalam papper bag mini. "Masak kan butuh waktu."

"Jadi penjual itu kudu bisa ngasih solusi biar pelanggannya nggak nunggu lama. Kalau kayak gini terus mending tutup warungnya."

Si Asti melempar tatap sebal sampai malas menanggapi. Kalau ibu-ibu itu jadi tetangga saya di Mandala Sari demi apapun mending diadakan undang-undang ketetanggaan saja agar mansyarakat aman damai sentosa. Kerjaannya pasti mengomentari dan mencari kesalahan orang lain terus. Ibu-ibu di Mandala Sari juga pasti nggak mau berteman sama dia, nggak asik dan tipe-tipe yang bakal sering diomongin di belakang.

Ekspedisi Warung KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang