69 - Garuk-Garuk Bulunya Lebat

6.3K 1.5K 2K
                                    

Melihat kuliBeli merpatiAku kembaliDengan senang hati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Melihat kuli
Beli merpati
Aku kembali
Dengan senang hati.

Akhirnya aku kembali update, terima kasih udah selalu antusias sebab saya sedang mengerjakan versi buku. Mengejutkannya lagi ternyata ... ah susah dijelaskan pokoknya menyenangkan.

Jangan lupa spam komen buat mau next chapter yaa. Ini bakal geregetan.

-= SELAMAT MEMBACA =-

Sebenarnya paling tidak suka duduk bersantai dalam keadaan berkeringat sambil menonton televisi, selalu lengket sana-sini dan sedikit bau asam karena aroma ketiak yang digaruk secara tak sadar malah menguar. Tetapi mau bagaimana lagi, Ibu sering bilang jangan mandi saat keringat masih bercucuran katanya demi kesehatan, untung saja bau tubuh saya ini masih bisa diselamatkan tidak seperti si Rian yang kadang sangat bau bawang.

Televisi masih menyala dan menyiarkan film-film lama, salah satunya film horor legendaris Suzanna. Katanya film itu sangat menyeramkan, tapi bagi saya sekarang tidak terasa seperti itu. Kenapa? Karena saya tidak menontonnya, cukup membaca judul di pinggir TV dan langsung pindah saluran.

"Jangan dipindah-pindahin terus dong, Om," celetuk si Rian menggaruk-garuk kepalanya.

Itu kalau sampai ada kutu loncat dan pindah ke rambut saya tidak bisa dibiarkan. Mending kalau pindahnya ke rambut yang ada di kepala, coba bagaimana kalau ke rambut yang lain? Contohnya ke ketiak, bisa meronta-ronta gatalnya.

"Pindah-pindahin gimana? Orang TV-nya dari tadi juga di sana." Sedikit bergeser takut ada kutu loncat. "Kamu tuh yang ada jangan garuk-garuk kepala terus, nanti kalau kutunya ngungsi ke rambut saya gimana?"

"Emangnya rambut Om jalur evakuasi? Pake acara ngungsi segala. Lagian kalau kutunya pindah suruh ngekos aja kalau gitu jangan ngungsi. Dasar, maunya dibayar mulu." Si Rian berhenti menggaruk kepala, tapi sialnya pindah ke ketiak. Bulu-bulunya lebat terlihat dari kaus yang dilipat ke bahu, masih lebat dan rimba punya saya sih sebenarnya.

"Nggak ada hal gratis di dunia ini, Rian. Kita aja kalau mau pulang ke Mandalasari harus nyelesaikan misi." Menaruh remot TV, di depan sana sebuah film luar bertema petualangan sedang diputar.

Masih tak menyangka, ini malam terakhir di tempat asing yang cukup melelahkan. Sehabis memejamkan mata, apa kami akan tiba di Mandalasari seperti semula ya? Atau setelah ini masih ada lagi?

"Om, sebenernya kita ini ngapain sih sampai harus pindah-pindah tempat? Om beneran nggak diazab 'kan?"

"Sembarangan! Ya, enggaklah. Saya orangnya baik begini kok diazab." Mau marah tapi tenggogorak terlalu kering untuk menelan ludah. Air yang si Asti mau ambil tadi belum juga datang sampai sekarang.

"Coba Om pikirin, kayaknya nggak mungkin Nenek kayu lakuin hal ini kalau nggak ada sesuatu. Pasti dia punya rencana buat milih kita, nggak mungkin cap-cip-cup asal mindah-mindahin gitu aja. Aku yakin nenek-nenek itu ada maunya." Mata si Rian menyipit, satu tangannya di dagu dan lainnya di pinggang sudah seperti berusaha membaca apa maksud dan tujuan dari sebuah kejadian. "Masalahnya, kenapa harus kita?"

Ekspedisi Warung KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang