26 - Rebananya Aja Udah Jadi Beban

6.4K 1.7K 237
                                    

Lampu di setiap sisi memancarkan cahayanya ke tiap ruang yang menjadi tujuan penerangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lampu di setiap sisi memancarkan cahayanya ke tiap ruang yang menjadi tujuan penerangan. Orang-orang di depan panggung, pedagang di pinggir jalan dan genting rumah serta warung kopi ikut terkena sorotan.

Seorang laki-laki tadi membawakan acara galang amal yang tengah dilakukan, setelah banyak kata yang terlontar barulah qasidah dibawakan. Sekumpulan wanita dengan rebana bergerak dari kiri ke kanan, mulutnya mengeluarkan suara nyanyian.

Saya belum begitu hafal lagu-lagu qasidah, tapi Ibu dulu suka memutar radio di pagi hari jadi cukup familiar. Orang-orang yang hadir tampak nyaman dan antusias sampai seorang bayi tertawa di pangkuan ibunya. Beberapa barang lelang sudah terjajar di sebuah wadah di depan panggung, mungkin agar lebih mudah dan tidak perlu pindah-pindah untuk meminimalisir gangguan di area panggung.

Dunia dalam berita berita dalam dunia....
Ada yang menyenangkan
Ada yang menyedihkan
Semua bisa dilihat ada dilayar TV
Sungguh asyik dunia dalam berita

"Sti, kamu pernah ada keinginan jadi pemain qasidah?" tanya saya sambil melihat penampilan di panggung dari warung, kebetulan view-nya langsung mengarah ke panggung ---singkatnya berhadap-hadapan tapi cukup berjauhan.

"Nggak ada Om. Mikirin cara pukul rebananya aja udah jadi beban."

"Pukul mah tinggal pukul aja, Sti. Pletak! Begitu."

"Kata Bu Kos mukul rebana itu susah Om, kalau nggak percaya tanya aja."

"Oh Bu Kos pernah jadi pemain qasidah? Baru tahu saya."

Sebelumnya memang tidak pernah ada cerita tentang Bu Kos yang bermain qasidah kalau lagi diskusi sama Ibu-Ibu Mandala Sari, baru kali ini. Jam terbangnya ternyata sudah cukup banyak, sampai hapal teknik mukul rebana segala. Ngomong-ngomong mukul rebana ada tekniknya ya?

Tepuk tangan diberikan sebab penampilan qasidah sudah usai. Masyaa Allah syahdu sekali yang ngomong terima kasih di depan, ingin rasanya memantaskan diri, paling tidak menjadi kenalannya.

Di samping saya si Rian sudah berganti pakaian mengenakan celana putih dan jaket levis, entah baju tahun kapan tapi masih bisa digunakan. Untung ukuran tubuh saya dua tahun terakhir sama si Rian tidak begitu banyak perbedaan jadi masih bisa meminjamkan. Bedanya saya lebih kekar dan atletis.

Dia tampak gugup, tapi kalau dibatalkan Yang Kusayang harus mengeluarkan banyak uang ganti rugi. Saya bukan pelit, tapi memanfaatkan potensi yang ada. Jadi tidak sia-sia. Bukannya lebih baik mengandalkan apa yang ada daripada membuangnya?

"Santai aja kali, Yan, gemeteran gitu kayak mau nikah aja," celetuk si Asti sembari membuka kacang dan kuaci yang tengah kami konsumsi.

"Lo nggak tahu rasanya jadi gue. Deg-degan setengah mati kayak gini. Masalahnya banyak orang nih, rame, ibu-ibu juga kan sukanya india atau dangdut. Gue kan nggak bisa nyanyi dangdut."

"Emangnya kamu mau bawain lagu apa, Yan?"

"Kangen, Dewa19."

Mantap, itu lagu kesukaan saya juga dari lama. Kebetulan lagi kangen Marni jadi bisa mewakili. Apalagi alat musiknya gitar, sebenarnya tadi pihak acara meminta pakai gitar punya saya tapi ternyata ada relawan yang punya gitar dan lebih bagus. Jadi ya sudah pakai fasilitas yang disediakan saja. Masa katanya waktu dites gitar milik saya fals, mereka saja yang tidak tahu cara pakenya. Ya ... saya juga nggak begitu ngerti nada fals atau nggaknya di mana, sudah lupa dan waktu muda juga jarang memainkan.

"Asli? Saya setuju banget. Awas kalau sampai salah lirik, saya orang pertama yang bakal lemparin kamu pake tomat buruk."

"Ah Om Bos mah malah bikin aku makin nggak pede."

"Harus pede, kalau kamu berani di atas panggung nanti, saya orang pertama yang bakal dukung dan teriakin nama kamu."

"Beneran tapi, ya?"

"Iya. Dibantu sama si Asti juga. Iya, kan?" Menyenggol bahu karyawan saya yang malah dibalas bingung. "Iyain aja Sti, cepetan!" berbisik.

"Oh tentu, Yan. Gue bangga kalau lo berhasil dan berkontribusi buat amal kayak begini."

Akhirnya dia bisa tenang dan tersenyum lega. Gemetar di tubuhnya sudah berkurang beberapa. Di depan sana acara dilanjutkan dengan ucapan-ucapan dari ketua pengacara, tidak terlalu kedengaran karena banyak yang diomongkan. Saya tidak bisa fokus, orang-orang di warung pun hanya menyimak dan banyak dari mereka yang punya urusan sendiri.

"Biar rileks coba joget-joget dikit, biar nggak kaku," tawar saya memberi solusi. Itu solusi 'kan?

Rian berdiri diikuti saya, kami berjalan moonwalk beberapa kali mengikuti gaya Michael Jackson di depan kasir demi membuat anak itu tidak tegang. Tanpa sadar ternyata orang-orang malah memperhatikan kami berdua, tatapan bingung dilontarkan mereka.

Gawat!

Kami terserang malu duluan. Agar mereka tidak mentertawakan saya pasang ekspresi serius lalu kembali ke tempat semula, duduk membelakangi mereka. Pipi dan wajah rasanya panas, semalu itu saya sekarang. Anehnya si Rian tampak senang melakukan hal itu meski jadi bahan perhatian orang-orang.

"Makasih Om Bos, jadi lebih rileks sekarang."

"Terserah kamu deh, Yan." Malu sekali, kalau Marni lihat dia pasti ketawa.

"Om Diyat kenapa nutupin wajah? Orang-orang juga senyum. Tandanya kalian tadi mempesona meski baru segitu aja."

Oh gitu ya? Benar juga. Saya kan berkarisma dan menarik, pantaslah mereka memperhatikan kami menari. Pasti sekarang di kepala mereka tengah meminta agar saya bisa menari lagi. Mohon maaf semuanya, kalau disuruh saya malas.

Gitar tua milik saya diambil si Rian dari dalam rumah bekas tadi dia latihan, padahal seingat saya waktu latihan tadi dia menyanyikan lagu Munajat Cinta sampai urat-urat di lehernya keluar, kenapa sekarang malah mau bawain lagu Kangen?

Kali ini ia melakukan latihan lagi untuk memastikan suaranya mungkin sembari menunggu dipanggil untuk tampil dan tidak gerogi. Lagu Antara Benci dan Rindu dinyanyikannya pelan hingga hanya orang warung yang bisa dengar itupun samar-sama karena masih berisik.

Jujur sebenarnya si Rian ini ada bakat menjadi penyanyi, dia juga bisa bermain gitar karena waktu SMA sering berlatih di ruang musik katanya. Bahkan kalau tidak salah dia punya band sendiri yang sudah membubarkan diri. Nasibnya dia malah berakhir di warung saya, tunggu ... mau koreksi. Kalau bilang nasibnya di warung terlalu kejam, mungkin warung ini bisa menjadi wadah bakatnya menunjukkan potensi.

Saya janji akan adakan live show untuk si Rian bisa menyanyi di sini, barangkali pelanggan juga makin betah dan banyak memesan kopi. Iya, saja janji. Entah itu setiap minggu sekali atau setiap hari. Akan diusahakan.

Sekarang biarkan dia menunjukkan bakatnya di atas panggung karena namanya sudah dipanggil pembawa acara. Saya senang entah kenapa, dia langsung menghentikan aksi bernyanyinya kemudian minum air putih yang ada di atas etalase.

"Semangat, Yan! Kita dujunng kamu."

Senyuman lebar muncul di wajahnya, dia berjalan ke arah panggung sambil dilirik banyak anak gadis. Dulu juga saya sebenarnya begitu kalau lewat depan cewek pasti dilihatin, kita memang luar biasa Yan. Oke lanjut.

Tiba-tiba menjadi deg-degan, takut si Rian malah demam panggung atau sakit perut. Paling parah, tidak bisa melakukan apa yang sudah disiapkan. Ayo, Yan nyanyi! Tunjukkan!

"Saya dukung kamu, Yan!!!"

-= EKSPEDISI WARUNG KOPI =-

Tebak, si Rian bakal nyanyi lagu apa?

Si Rian awas aja kalau demam panggung terus pingsan.

Ekspedisi Warung KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang