Bunyi keran kali ini berbeda dengan sebelumnya, benda itu dinyalakan untuk dicampurkan dengan air panas agar menjadi hangat. Handuk kecil sudah di punggung, dua karyawan saya sesekali mengeluh kesakitan. Mereka tadi telah diperintahkan untuk mencucinya lebih dulu agar tidak infeksi saat diobati, tapi sepertinya hal itu malah membuat lukanya tambah sakit.
Saya duduk di kursi yang mulanya tempat kami tertawa bersama tapi berubah tempat sedih sama-sama. Diperaslah handuk itu setelah dicelupkan pada baskom air hangat agar menjadi basah sedikit saja, lalu saya tempelkan ke kening si Asti yang disambut jerit sakit. Takutnya benturan itu menimbulkan benjolan jadi saya sengaja kompres seperti itu.
"Pelan-pelan, Om. Ahh... sakit." Dia mendesah seperti saya apa-apakan saja. "A-ahh."
"Diem atau saya toyor?" Malas sekali malam-malam begini dia mendesah seperti kupu-kupu malam saja. "Kalau ada warga yang denger 'kan bisa salah paham."
"Ya maaf, Om." Sekarang handuk sudah dia pegang sendiri, mungkin kalau saya yang cocol-cocolkan malah terasa menyakitkan. Si Asti pasti jarang dicocol, makanya begitu.
Upaya pertolongan kali ini saya lakukan pada si Rian, tahapannya sama saja seperti tadi memasukkan handuk kecil ke baskom lalu memerasnya. Jangan pikir saya pakai handuk bekas si Asti, di sini handuk kecil cukup banyak jadi tidak masalah memakai dua handuk untuk masing-masing karyawan.
Kenapa saya yang melakukan pengobatan? Ya kalau tidak setuju dibilang pengobatan anggap saja peredaan rasa nyeri dan membersihkan luka yang terjadi. Kenapa? Karena ini rumah saya, karena mereka pekerja saya dan kali ini hanya saya saja yang paling normal keadaannya. Tadi saya hanya terbentur saja tanpa terluka atau bagaimana, paling punggung dan pinggang yang sedikit terasa sakit--- selebihnya baik-baik saja.
"A-aw," lirih si Rian ketika handuk hangat itu saya usap pelan ke pipinya.
"Tahan, kalau nggak gini nggak bakal sembuh." Saya cocolkan lagi handuk itu, tapi sepertinya memang sakit karena pipinya robek meski tidak besar. Malas mendengar sakit itu saya berikan handuk padanya agar dicocolkan secara mandiri. Saya ambilah kaca gantung di dapur lalu ditaruh di hadapan si Rian yang ditahan oleh tempat buah agar bisa berdiri tegak.
Hufft!!
"Om, kita pindah tanggal. Jadi tanggal 19 deh," keluh si Asti dengan masih mengompres keningnya. Dia melihat kalender yang ada dekat kulkas dan memang terlihat dari tempatnya sekarang. "Kita udah gagal dua kali, Om."
Mendengar keluhan dari karyawan saya rasanya gagal menjadi seorang nahkoda kapal pada warung saya sendiri. Ekspedisi kali ini sudah seperti berlayar di lautan yang hanya dibekali peta saja, tidak tahu akan ada apa di sana yang entah indah atau justru berbahaya nantinya.
Kalau dipikir-pikir, apa nenek kayu melakukan hal itu karena dia tidak terima saya tawar kayunya ya? Atau jangan-jangan karena buku itu? IYA! Buku di mana saya menandatanganinya dan menulis nama di sana. Apa jangan-jangan sebenarnya itu bukan buku pembayaran melainkan buku daftar sasaran? Atau ... death note? Sial! Kenapa saya ke sana waktu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ekspedisi Warung Kopi
Humor[SUDAH DINOVELKAN] FOLLOW SEBELUM BACA BIAR GAK DOSA] • [Fantasi, Komedi, Misteri] ============== TERBIT, TERSEDIA DI TOKO BUKU KESAYANGAN KAMU Rank tertinggi : #3 Misteri #1 Kopi (dari ribuan cerita) Warung kopi dengan tulisan besar "Yang Kusayang"...