Tempat berbeda, suasana berbeda. Siang-siang begini jadi rindu suasana toko si Koko yang kadang diwarnai aksi tawar-menawar pembeli, atau suara penjual gas dan pedagang kerang keliling, pokoknya jalan Bara Bere tidak pernah sepi, tidak seperti kampung Losari---di sini.
Yang Kusayang sudah dibuka bersamaan dengan bubur dan ketoprak Bu Dara, sedangkan si Rehan menemani kami membuka warung kopi. Bukan anak durhaka yang tidak membantu orang tua, tapi memang disuruh Ibunya untuk menemani di sini. Terlebih lagi saya mau mengantarkan motor ke bengkel Bang Dirman. Eh, Dirman atau Sukirman? Apa Sukijan?
Jadi kepikiran, mending motor si Rian saya sendiri saja yang bawa ke bengkel kali ya? Biar pasti apa-apanya. Bukan, bukan kerena takut dia bohongin saya soal biaya servis, tapi ada hal yang lebih nyaman kalau saya sendiri yang memastikan. Lagipula dia kan harus jaga warung kopi.
"Yan, motornya mending saya aja yang bawa ke bengkel ya."
"Lho? Kenapa Om?"
"Kamu kan harus jaga, jadi mending sama saya aja bareng si Rehan."
"Ya udah, Om."
Mengangguk. Mengecek garasi, motor biru itu masih ada di sana dengan penyok yang belum hilang. Saya bawa keluar garasi ternyata masih bisa dinyalakan. Iyalah kan bukan mesinnya yang mati tapi bagian lampu dan bodynya saja seperti perasaan saya. Semoga keburu deh benerin di Bang Sukirman, eh Dirman, eh Firman?
"Hayuk, Han!" Biar seru, tebak di mana saya memanggilnya? Salah! Di motorlah lagi duduk di mana lagi. "Ngomong-ngomong nama tukang bengkelnya siapa tadi? Sukirman?"
"Dirman, Bang."
Ooh Dirman, kirain siapa. Soalnya namanya terasa familiar kayak iklan kartu di teve-teve. Hihi. Awesome.
Bocah itu sudah ada di kursi belakang, dibonceng. Sambil melihat-lihat bengkel dari jauh ternyata di sana sedang kosong, kesempatan bagus untuk membenarkan kendaraan ini. Lagipula kenapa sih si Rian beli motor vespa, mending kayak punya saya gagah perkasa dan kuat berlama-lama dibawa ke mana saja.
Eh? Bang Dirman ternyata memiliki tato di dua lengannya. Rambut dia sedikit keriting diikat, mungkin kegerahan. Ada gelas kopi hitam di dekat etalase lengkap dengan sebatang rokok dan asbak yang langsung dimatikan begitu saya datang.
"Siang, Bang Diyat," sapanya. Lho? Dia tahu saya?
"Bang Dirman kenal saya?" Melirih sambil memikirkan sampai akhirnya sadar kalau di sini saya diceritakan sudah satu bulan. "Oh iya, Bang, siang."
"Kenapa motornya Bang?"
"Lampu depannya mati, Bang." Saya sama si Rehan sudah turun. Tidak sopan menjawab pertanyaan orang yang kita butuhkan tapi masih duduk di atas sana. Apalagi ini konteksnya mau menyervis barang, di mana terjadi penjualan jasa. "Body-nya juga penyok. Tolong bantu dibenerin ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ekspedisi Warung Kopi
Humor[SUDAH DINOVELKAN] FOLLOW SEBELUM BACA BIAR GAK DOSA] • [Fantasi, Komedi, Misteri] ============== TERBIT, TERSEDIA DI TOKO BUKU KESAYANGAN KAMU Rank tertinggi : #3 Misteri #1 Kopi (dari ribuan cerita) Warung kopi dengan tulisan besar "Yang Kusayang"...