31 - Gawat!

5.8K 1.5K 103
                                    

"Yan, kayaknya sayang kalau bakat kamu nggak ditunjukkin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Yan, kayaknya sayang kalau bakat kamu nggak ditunjukkin."

"Maksudnya, Om?" Si Rian yang tengah nyuci piring menghentikan aksinya. "Bakat terpendam?"

Piscok di kulkas saya ambil, tiba-tiba jadi pengin yang manis-manis padahal saya sendiri sudah manis. "Iya. Nyanyi. Bakat terpendam kamu tuh lebih baik ditunjukkin, kalau bakat terpendam si Asti lebih baik dipendam aja, kubur sekalian."

"Ihh pada ngomongin Asti cantik yaaa?" Cewek itu memotong tertawaan kami, dia membawa gelas-gelas dan cangkir-cangkir untuk dicuci. "Pada kenapa sih ngomongin Asti? Apanya yang dipendam? Om! Jangan-jangan si Rian mendam perasaan ya? Ke siapa? Tuhkan bener dugaan Asti."

"Perasaan mulu kamu, Sti."

"Tahu tuuh! Awas lu!" tubuh si Asti terhuyung pindah tempat sebab si Rian kembali mencuci peralatan yang kotor.

"Itu si Rian, sayang aja kalau bakat nyanyinya dipendam. Kamu juga setuju 'kan Sti?"

"Ya setuju aja sih, tapi tadi Asti denger ada nama Astinya. Please, jangan buat penasaran!"

Duuuh bilang tidak ya mengenai perkataan saya tadi? Kayaknya tidak ah takut melukai hatinya. Nanti bisa-bisa seperti di film-film, sekalinya sakit hati bisa jadi benci dan menyulitkan. Si Asti sangat berguna untuk ekspedisi ini, nanti siapa yanh ber-istighfar kalau di keluar.

"I-itu ... maksud saya mending kamu—si Rian—yang nanyi daripada si Asti, gitu."

"Emangnya kenapa kalau Asti yang nyanyi? Cempreng? Kayak kaleng rombeng?"

"Saya nggak bilang gitu, kamu sendiri yang bilang." Bibir saya belepotan penuh cokelat tapi bodo amat, enak juga makan piscok sesekali seperti ini. Nanti mau bikin es buah ah, buat konsumsi pribadi aja dulu. Karena sedikit mengganggu saya jilati saja sendiri kalau sama orang lain belum muhrim. "Kamu lihat aja si Rian, Sti. Dia bisa nyanyi tapi nggak ditunjukkin kan percuma bisa juga. Siapa tahu nanti warung kita bisa jadi kafe yang gede terus si Rian penyanyinya."

"Aamiin," jawab mereka kompak.

"Rencananya sih," ini saya lagi duduk di kursi dekat mereka yang sibuk, "mau bikin waktu khusus tiap malem buat si Rian nyanyi di warung. Bisa kan Yan?"

"Aku sih bisa aja, Om. Cuma malu, takut orang-orangnya pada nggak suka."

"Pasti suka, si Asti aja suka kok. Ya 'kan Sti?"

"Iya. Eh! Enggak-enggak. Apaan." Air di gelas langsung ditenggaknya. "Udah ah Asti mau ke Warung lagi." Seketika tubuhnya dikunyah tembok, kayaknya kalau dikunyah terlalu mengerikan. Oke ganti. Seketika tubuh si Asti ditelan tembok, hilang.

"Om Bos yakin?"

"Yakin, Yan. Kalau nggak yakin saya nggak bakal ngomongin ini."

"Boleh deh kalau bisa bantu Yang Kusayang kenapa enggak, kan?"

"Nah ... ini baru karyawan saya."

Senang rasanya bisa memberi ruang untuk orang lain, saya tahu si Rian sangat antusias atas kesempatan ini cuma karena jarang melakukannya rasa takut lebih membuat keinginanya bersembunyi. Semoga rencana ini bisa berjalan sesuai harapan tanpa hambatan.

***

Bulan malam ini terlihat putih, lampu-lampu di rumah-rumah juga tampak seperti itu, berbeda dengan lampu-lampu di Yang Kusayang yang sedikit kekuning-kuningan, soalnya kalau dipilih warna putih semua terasa terlalu keras jadi kurang nyaman.

Sebuah standing mic sudah terpasang di ujung kanan yang dekat dengan pintu ruang tamu tapi karena dibatasi oleh tanaman tinggi jadi membuatnya terlihat cantik, satu kursi tinggi pun dipasang untuk duduk si Rian saat nyanyi nanti---jangan lupakan lampu-lampu tumblr yang menghiasi sekitarnya, itu cantik sekali saat bercahaya.

Seperti yang pernah dikatakan, malam ini juga saya wujudkan agar bisa menampilkan acara musik yang dibawakan si Rian. Cowok itu masih saja terlihat gugup, padahal penampilannya di sini hanya pertunjukkan kecil yang harusnya bisa sedikit lebih santai.

"Om nanti aku bawain berapa lagu?"

"Sesukamu aja Yan, sampai suaramu hilang juga boleh, hehe." Kalian harus nyobain minum es teh manis hangat di malam hari dengan suasana kekeluargaan yang bikin nyaman. Saya yakin ada yang pernah merasakannya, nikmat sekali.

"Biar jadi pertunjukan pertama sekaligus terakhir gitu Om?"

"Enggak. Siapa bilang? Ini pertunjukkan kedua sekaligus terkahir, kan pertamanya pas lelang."

Si Rian tampak menggerutu kecil tapi saya tidak mendengarnya, sehabis itu dia diam. Jangan jangan di pikirannya beneran harus nyanyi sampai suara habis lagi? Ah sepertinya tidak mungkin.

"Yan, nanti gue request ya?"

"Gue bingung, Sti, menurut lo gue bawain lagu jadul atau jaman sekarang?"

"Sekarang."

"Jadul."

Kok saya sama si Asti nggak sependapat? Malah bentrok seperti ini. Padahal lebih enak dengerin lagu-lagu jaman dulu apalagi dibikin versi akustiknya, lagu sekarang bagus sih cuma hanya beberapa yang cocok dengan telinga saya.

"Pokoknya jadul!"

"Lagu jaman sekarang aja Om Diyat ih. Kayak lagu-lagunya siapa tuh? Lu tahu lagu Bertaut kagak, Yan? Gue request itu."

"Nggak ah! Yan, saya kasih saran mending lagu-lagunya Obbie Messakh, Ratih Purwasih atau band-band kayak Dewa19."

"Lagu jaman sekarang kek Om sekali-kali." Si Asti keras kepala!

"Udah-udah! Pokoknya apa yang nanti bakal aku bawain itu urusan aku. Daripada berantem. Nggak peduli mau jadul atau sekarang, pokoknya jangan berantem.

"Ya udah OKE!"

Hening, obrolan pertengkaran kecil berhenti di bingungnya harus membawakan lagu apa. Beberapa pelanggan sepertinya mendengar karena di antara mereka ada yang menoleh ke arah sini.

Dari depan jalan tampak ibu-ibu melewat sembari menggosip dan obrolan mereka berhenti menjadi bisik-bisik melihat ke arah warung saya, setelah diteliti itu Ibu-Ibu yang beli roti. Sepertinya mereka masih punya dendam pribadi sampai niat betul bergunjing di depan Yang Kusayang.

"Kenapa Bu?" pekik saya dari jauh, kali saja kan mau beli roti lagi tapi malu.

"Yu ah kita le tempat lain!" ujarnya dengan delikan mata kemudian ibu-ibu itu mengikutinya pergi entah ke mana.

Mata saya sontak langsung menyipit, tak habis pikir dengan apa yang ada di pikiran ibu-ibu, jadi kangen ibu-ibu di Mandala Sari yang bersahabat sama saya bukan malah memberi delikan kayak di kampung ini. Nyebelin.

YA AMPUN!

Ngomong-ngomong soal warung, saya lupa buku besar belum diisi apa-apa. Saya makin yakin kalau sebenarnya jin atau nenek kayu memang menutup pikiran saya perlahan sampai-sampai lupa akan buku besar yang ekspedisinya harus diselesikan.

"Sti, buku besar kita udah keisi belum?"

"Astaga, Om. Ini udah malem. Gimana kalau kita kejebak di kampung nyebelin ini?" cepat-cepat anak itu mengambil buku besar dan langsung membukanya, begitu melihat isinya dia teriak. "OM BOS! GAWAT!"

-= EKSPEDISI WARUNG KOPI =-

Ekspedisi Warung KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang