Kehidupan dunia memang dibuat untuk manusia merasa kecewa. Sikapi dengan sederhana saja, karena semua akan berlalu. Jika hari ini ada yang membuat senang, itu akan berlalu. Jika ada yang kurang membuat senang, itu juga akan berlalu.
Kebahagiaan justru ada ketika kita sudah melepaskan diri dari segala keinginan yang melekat, untuk berserah sesuai dengan kehendak Allah.
Niatkan rencana selaras dengan Allah; juga tutur kata, sikap, dan perbuatan. Tidak perlu banyak mengurus yang memang bukan bagian kita, karena apa yang menjadi kewajiban kita sebenarnya lebih dari kemampuan diri kita. Ibadah kepada Allah; sudahkah benar-benar khusyuk menyembah pada-Nya.
Manusia hanya akan memperoleh apa yang ia butuhkan. Ambisi boleh, namun ingat bahwa keinginan itu tidak harus tercapai. Bencana sebenarnya bukan tidak tercapai keinginan, namun semakin jauhnya kita dari Allah.
Setiap orang hanya lakukan apa yang dirasa perlu atau suka baginya. Maka, maklumi saja. Sadari bahwa tidak ada yang lebih penting daripada nikmat iman. Nikmat iman bersanding dengan amal saleh. Amal tidak ada tanpa ilmu, serta perhatikanlah adab di hadapan para guru.
Muhammad bin Idris Asy Syafi'i atau yang kita kenal sebagai Imam Syafi'i rahimahullah berkata, "Barangsiapa yang tidak tahan dengan kerasnya seorang guru (dalam mengajar), maka bersiaplah untuk menahan kebodohan (karena gagal menyerap ajaran guru)."
Sadari nafas serta berzikir dalam tiap hembus nafas, agar kita bisa memilih tindakan yang sesuai rida Allah, serta teladan Rasulullah.
Terima apapun yang diberikan oleh Allah. Terkadang, manusia mencela matahari walau tanpa matahari manusia tidak bisa hidup. Terkadang, manusia mencela kelambatan namun menolak kecepatan jika dirinya merasa tertinggal. Sungguh, kita akan lelah jika mengejar rida manusia. Maka, lepaskanlah keinginan untuk mengejar rida.
Imam Syafi'i juga mengatakan, "Anda tidak akan mampu mendapatkan rida semua manusia, maka perbaikilah hubunganmu antara dirimu dengan Allah, dan tidak usah peduli dengan ucapan orang-orang."
Karena menurut A begini, menurut B begitu. Sedangkan petunjuk dalam Al-Qur'an dan Hadits sudah jelas, dengan didukung oleh salafush saleh.
Allah Ta'ala berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar."
(QS. Al-Baqarah [2]: 155)Kesadaran yang seperti apakah yang membuat sabar? Yaitu: kesadaran untuk hidup pada saat ini dan di sini, kemudian menerima keadaan apa adanya. Kita tidak cemas akan hari esok, pun tidak menyesali masa lalu yang telah terjadi.
Umar bin Khattab Radhiyallahu 'Anhu berkata,"Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku"
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ"Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan menguji mereka. Barang siapa yang rida (terhadap ujian tersebut) maka baginya rida Allah dan barang siapa yang marah (terhadap ujian tersebut) maka baginya murka-Nya." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah At Tirmidzi berkata bahwa hadits ini Hasan Ghorib)
Mengapa bisa terwujud kesadaran seperti ini? Karena telah bulat keyakinan kepada Allah, bahwa Allah menggenggam takdir manusia, sehingga tidak menginginkan takdir lain selain apa yang dikehendaki Allah untuknya.
Dari Mush'ab bin Sa'id (seorang tabi'in) dari ayahnya berkata,يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً"Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berat ujiannya?" Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,« الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »"Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka dia akan mendapat ujian begitu kuat. Apabila agamanya lemah, maka dia akan diuji sesuai dengan agamanya. Senantiasa seorang hamba akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di bumi dalam keadaan bersih dari dosa." (HR. Tirmidzi. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih)
Semoga kita yang sedang mendapat ujian atau musibah merenungkan hadits-hadits di atas. Sungguh ada sesuatu yang tidak kita ketahui di balik musibah tersebut. Maka bersabarlah dan berusahalah rida dengan takdir ilahi. Sesungguhnya para Nabi dan orang saleh dahulu juga telah mendapatkan musibah sebagaimana yang kita peroleh. Lalu kenapa kita harus bersedih, mengeluh dan marah? Bahkan orang sholeh dahulu -sesuai dengan tingkatan keimanan mereka-, mereka malah memperoleh ujian lebih berat. Cobalah kita perhatikan perkataan ulama berikut.
Al Manawi mengatakan, "Barangsiapa yang menyangka bahwa apabila seorang hamba ditimpa ujian yang berat, itu adalah suatu kehinaan; maka sungguh akalnya telah hilang dan hatinya telah buta (tertutupi). Betapa banyak orang sholih (ulama besar) yang mendapatkan berbagai ujian yang menyulitkan. Tidakkah kita melihat mengenai kisah disembelihnya Nabi Allah Yahya bin Zakariya, terbunuhnya tiga Khulafa'ur Rosyidin, terbunuhnya Al Husain, Ibnu Zubair dan Ibnu Jabir. Begitu juga tidakkah kita perhatikan kisah Abu Hanifah yang dipenjara sehingga mati di dalam buih, Imam Malik yang dibuat telanjang kemudian dicambuk dan tangannya ditarik sehingga lepaslah bahunya, begitu juga kisah Imam Ahmad yang disiksa hingga pingsan dan kulitnya disayat dalam keadaan hidup. Dan masih banyak kisah lainnya." (Faidhul Qodhir Syarh Al Jami' Ash Shogir, 1/518, Asy Syamilah)
Referensi: https://rumaysho.com/27-inilah-hikmah-di-balik-cobaan-yang-belum-engkau-tahu.html