Jika ada pintu tertutup bagimu, mengadulah pada Allah agar membuka pintu lainnya. Hikmah Allah akan nampak pada masa yang akan datang.
Tidak ada perbuatan Allah yang tidak mengandung hikmah. Maka, tobat dan memperbaiki diri merupakan cara untuk mengundang datangnya rezeki untuk kita.
Betapa kita banyak dosa kepada Allah serta makhluk-Nya. Jangan sampai merugikan orang lain serta kepentingan bersama dan umum.
Jika tidak bisa membuat bahagia, jangan membuat sedih.
Allah telah menyebutkan hakikat kebahagiaan di dalam firman-Nya;من عمل صالحا من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فلنحيينه حياة طيبة ولنجزينهم أجرهم بأحسن ما كانوا يعملون"Barangsiapa yang mengerjakan amal sholih baik laki-laki maupun perempuan sedang dia orang yang beriman maka sungguh akan Kami karuniakan kepadanya "hayatan thoyyibah" (kehidupan yang baik) dan akan Kami beri ganjaran untuk mereka berupa pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An-Nahl [16]: 97)
"Hayatan thoyyibah" yang dimaksud ayat ini dijelaskan oleh sebagian mufassirin maknanya adalah "as-sa'adah" yaitu kebahagiaan dengan lapangnya dada dan thuma'ninahnya hati.
Milikilah sikap rida yang dengannya segala ujian terasa ringan.
Hukum Merasa Ridha Terhadap Musibah
Syaikh Shalih Alusy Syaikh hafizhahullahu ta'ala menjelaskan, "Hukum merasa ridha dengan adanya musibah adalah mustahab (sunnah), bukan wajib. Oleh karenanya banyak orang yang kesulitan membedakan antara ridha dengan sabar. Sedangkan kesimpulan yang pas untuk itu adalah sebagai berikut. Bersabar menghadapi musibah hukumnya wajib, dia adalah salah satu kewajiban yang harus ditunaikan. Hal itu dikarenakan di dalam sabar terkandung meninggalkan sikap marah dan tidak terima terhadap ketetapan dan takdir Allah.Adapun rida memiliki dua sudut pandang yang berlainan:
Sudut pandang pertama: terarah kepada perbuatan Allah jalla wa 'ala. Seorang hamba merasa ridha terhadap perbuatan Allah yang menetapkan terjadinya segala sesuatu. Dia merasa ridha dan puas dengan perbuatan Allah. Dia merasa puas dengan hikmah dan kebijaksanaan Allah. Dia merasa ridha terhadap pembagian jatah yang didapatkannya dari Allah jalla wa 'ala. Rasa ridha terhadap perbuatan Allah ini termasuk salah satu kewajiban yang harus ditunaikan. Meninggalkan perasaan itu hukumnya haram dan menafikan kesempurnaan tauhid (yang harus ada).
Sudut pandang kedua: terarah kepada kejadian yang diputuskan, yaitu terhadap musibah itu sendiri. Maka hukum merasa ridha terhadapnya adalah mustahab. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridha dengan sakit yang dideritanya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridha dengan sebab kehilangan anaknya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridha dengan sebab kehilangan hartanya. Namun hal ini hukumnya mustahab (disunnahkan).
Oleh sebab itu dalam konteks tersebut (ridha yang hukumnya wajib) Alqamah mengatakan, "Ayat ini berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan dia menyadari bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah maka diapun merasa ridha" yakni merasa puas terhadap ketetapan Allah "dan ia bersikap pasrah". Karena ia mengetahui musibah itu datangnya dari sisi (perbuatan) Allah jalla jalaaluhu. Inilah salah satu ciri keimanan." (At Tamhiid, hal. 392-393)
Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinaan radhiyallahu 'anhu, beliau mengatakan, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, "Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman, semua urusannya adalah baik. Tidaklah hal itu didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia tertimpa kesenangan maka bersyukur. Maka itu baik baginya. Dan apabila dia tertimpa kesulitan maka dia pun bersabar. Maka itu pun baik baginya." (HR. Muslim)
Kesabaran merupakan sikap penting yang merupakan tanda kekuatan iman kepada Allah, maka milikilah kesabaran. Kesabaran membawa pada rida-Nya Allah Ta'ala. Jika kita jauh dari sikap sabar, maka perilaku kita akan menjadi kurang terkontrol serta tidak matang.
Setan senang menggoda hamba-hamba Allah dengan sikap tidak rida. Hal ini akan membuat seorang hamba menggugat Allah serta murka kepada ketentuan Allah.
Padahal sekali-kali Allah tidak menzalimi hamba-Nya. Melainkan musibah masih lebih sedikit dibanding kenikmatan serta anugrah yang selama ini telah diberikan Allah. Namun, manusia berlaku seolah-olah Allah zalim pada dirinya.
Tidak ada hamba Allah yang tidak berbuat dosa. Maka, jangan ingkari dosa kita sendiri. Semua hamba Allah itu berdosa, salah, lalai, serta cacat dalam amalnya.
Bersyukurlah bahwa salah satu hikmah diberikannya musibah adalah hukuman dosa yang disegerakan di dunia, agar manusia mampu sadar serta bertobat kepada Allah.Dari Anas, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, maka Allah segerakan hukuman atas dosanya di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya maka Allah tahan hukuman atas dosanya itu sampai dibayarkan di saat hari kiamat." (Hadits riwayat At Tirmidzi dengan nomor 2396 di dalam Az Zuhud. Bab tentang kesabaran menghadapi musibah. Beliau mengatakan: hadits ini hasan gharib. Ia juga diriwayatkan oleh Al Haakim dalam Al Mustadrak (1/349, 4/376 dan 377). Ia tercantum dalam Ash Shahihah karya Al Albani dengan nomor 1220)
Alangkah indah bentuk kasih sayang Allah, jika kita mampu mentafakurinya. Maka, kembalilah pada Allah dan jangan sekali-kali menyekutukan Allah dengan apapun itu. Bentuk ujub kepada diri sendiri, atau kecintaan berlebihan pada keluarga bisa menjauhkan hati dari rasa cinta kepada Allah. Allah adalah Maha Pencemburu, yang tidak suka hamba-Nya mencintai sesuatu lebih dari cinta kepada Allah.Referensi:
https://muslim.or.id/219-hakikat-sabar-2.html