36.Pingsan|R.I.Q|

16.4K 1.6K 36
                                    

Hari ini Quinza bangun agak terlambat. Bukan tanpa sebab, namun entah mengapa kepala Quinza terasa sedikit berat tadi subuh. Karna itu Quinza memilih untuk menunda bangunnya dulu.

"Loh kok Quin belum turun yah. Ini udah jam 06, biasanya dia jam 04 udah siap di bawah" Gumam Bianca ketika menyadari bahwa sang putri masih belum juga memunculkan batang hidungnya sejak ia bangun.

Dion yang mendengar ucapan istrinya pun berinsiatif untuk menghampiri sang putri di kamarnya. "Yaudah, biar Papah cek ke kamar dia Mah. Siapa tau dia kesiangan" Ujar Dion.

Namun saat hendak naik memanggil Quinza, Quinza sudah turun terlebih dahulu. "Morning Pah, Mah" Sapa Quinza pada Dion dan Bianca.

Dion dan Bianca membalasnya dengan ucapan selamat pagi juga. "Kamu tumben telat sayang? Terus itu muka kamu kok pucet juga?" Tanya Bianca ketika melihat kulit sang putri nampak pucat.

Quinza menggeleng pelan. "Quin gak papa kok Mah" Ujar Quinza pada Bianca. Jujur saja, kepala Quinza memang masih berdenyut hebat jika di tanya sebenarnya. Namun ia tidak ingin hanya tinggal di rumah saja jika orang tuanya tau bahwa ia sedang sakit.

Bianca mengangguk percaya, walau sebenarnya ia tidak terlalu percaya. Tidak berselang lama, keempat pria remaja yang menuruni tangga secara bersama-sama bak seorang pangeran, dengan ketampanan mereka yang tidak main-main memang.

"Morning Mah, Pah, Dek" Sapa Cris pada Bianca, Dion dan Quinza. Quinza terkejut mendengar sapaan itu, namun ia masih dapat mengendalikan keterkejutan nya itu.

Bianca dan Dion membalas sapaam putra mereka, namun tidak dengan Quinza.

Seseorang menarik kursi yang terletak di sebelah kanan Quinza. Quinza hanya melirik sekilas dan melanjutkan sarapannya, yang duduk di sebelah Quinza ia lah Andri. Kaka tertua atau sulung dari Quinza.

Keempat pria tampan itu sedari tadi berusaha mengajak bicara si gadis yang sedang sibuk memakan sarapannya tanpa niat untuk menghiraukan mereka berempat.

Namun semakin lama, kepala Quinza semakin berdenyut, hingga akhirnya gadis itu tidak tahan lagi dengan denyutan yang berasal dari kepalanya dan berakhirlah dengan dirinya yang pingsan pagi itu.

Brukk
Suara badan Quinza yang pingsan dan hampir merosot ke lantai. Namun untung saja Andri dengan sigap menahan tubuh adiknya, entah dapat di sebut adik lagi atau tidak, agar tidak merosot ke bawah.

"Bawa adik kamu ke kamarnya An" Titah Dion dengan cekatan pada Andri.

Andri tidak menjawab Dion, namun langsung membawa Quinza menjauh dari meja makan menuju ke kamarnya untuk di istirahatkan di sana.

⋆ ˚。⋆୨୧˚ ˚୨୧⋆。˚ ⋆

"Jadi gimana keadaan putri kami dok?" Tanya Dion pada dokter Fahmi, dokter kepercayaan keluarga Arieno.

"Ehem, jadi kondisi Quinza tidak apa-apa. Hanya saja dia sepertinya banyak pikiran dan begadang terlalu larut akhir-akhir ini sehingga mengakibatkan kepalanya terasa sakit dan berakhir dengan pingsan karna kelelahan. Ini resep dari saya silahkan di tebus di apotek terdekat" Jelas dokter Fahmi yang kiranya seumuran dengan Dion pada keluarga Arieno.

Dion dan Bianca mengangguk mengerti, setelah itu Dion pun mengantarkan sang dokter sampai ke depan dan kembali ke kamar putrinya lagi.

"Pah, Mamah mau tebus obat Quinza dulu di apotek depan yah" Izin Bianca yang hendak menebus resep obat yang di berikan oleh dokter Fahmi, agar nanti saat Quinza sudah bangun, ia dapat langsung memberikan putrinya itu obat untuk di minum.

"Papah nemenin Mamah, kalian berempat jagain adik kalian. Awas aja kalau sampai Quin kenapa-napa karna kalian" Ancam Dion pada keempat putranya.

❀❀❀❀

Jumlah kata, 554 kata
Tanggal publish, 26/08/2021

Rora Is Not Quin [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang