72

271 44 9
                                    

Sabtu pagi ini Fara tampak bersantai di ruang tamu bersama anaknya. Sebenarnya tidak bisa dikatakan seperti itu juga karena Fara tengah mencoba mendamaikan hatinya yang masih terbakar tiap kali mengingat kata-kata pedas Dierja kemarin tentang suaminya, pun yang paling menyebalkan karena pria itu menciumnya tanpa permisi.

Memang sudah tidak banyak yang bisa Fara lakukan semenjak kakinya tidak bisa lagi dipakai untuk berjalan. Ia cuma mengandalkan kursi roda itu untuk pindah ke satu tempat ke tempat yang lain, selayaknya pengganti kedua kakinya selama ini tapi kini terasa kaku dan sakit jika terlalu dipaksakan untuk bergerak. Tentu banyak yang mengolok-oloknya karena masih muda bahkan cantik tapi malah sudah berakhir lumpuh.

Fara juga marah dan malu akan kondisinya, tetapi ia berusaha menguatkan diri sebab merasa tidak ada cara untuk mengembalikan semuanya pada keadaan semula. Ia hanya bisa tabah dan ikhlas menjalani hidupnya yang sekarang.

Solusi Dierja kemarin yang ingin Fara fokus mengasah hobinya lagi yaitu melukis agar tidak merasa kebosanan, justru tidak tertarik ia lakukan.

Malahan, Fara acapkali iseng menggambar sketsa gaun-gaun pengantin di iPad Pro miliknya. Ingin sekali rasanya suatu saat nanti ia bisa membuat gaun pengantin sendiri. Terserah siapapun yang akan memakainya. Karena dibalik keinginannya yang ingin sekali membuat gaun pengantin itu terselip makna yang mendalam. Ia belum pernah merasakan keindahan dari sebuah pernikahan. Bahkan khayalannya semasa kecil yang dulu pernah ingin sekali menjadi ratu sehari di mana pasti akan memakai gaun pengantin yang indah tapi apalah daya semua itu memang akan menjadi angan-angan.

Pernikahannya dengan Andre saja dilaksanakan secara diam-diam dan kelewat sederhana karena sengaja menutupi keadaan Fara yang sudah duluan hamil.

"Mama."

Ketika Adrian memanggil maka Fara cuma menolehkan kepala, menatap anaknya itu untuk mengetahui keinginannya apa saat ini.

"Apa Sayang? Udah puas mainnya?"

Adrian menghampiri ibunya.

Ia memegang tangan perempuan yang paling disayanginya.

"Mama aku sebenernya ada PR tapi aku kebingungan mau kerjainnya."

"Loh iya? Yaudah Mama bantuin yuk."

Anak itu kembali ke tempatnya duduk tadi. Di lantai beralaskan karpet lembut itu ia sekedar mau mengambil buku gambarnya.

"Tadi Ibu guru suruh gambarin rumah trus orang-orang yang tinggal di dalemnya. Aku maunya gambarin rumah yang ada akunya, Mama, Ayah sama Ariel aja. Tapi aku bingung Ma... Ayah kan aku sekarang udah gak tahu Ayah ada di mana, jadinya yang sering temenin aku Papa Dierja jadi aku gambar Papa aja ya?"

"Nggak. Ayah kamu masih ada Nak! Ayo sini biar Mama kasih tahu kamu cara kerjain PR-nya yang bener."

Fara menaruh buku gambar putranya di atas meja.

Ia tampak telaten menemani anaknya itu belajar.

"Ih Mama! Kan aku punya Papa juga!"

"Adrian!"

Ini pertama kalinya keduanya sama-sama tidak mau mengalah. Bahkan Fara sampai menaikkan nada bicaranya ketika memanggil nama Adrian, tidak biasanya.

Fara heran karena Adrian ngotot sekali ingin menambahkan figur Dierja di gambarannya itu.

Maka berkali-kali Fara menghapusnya pula.

"Adrian sini dengerin omongan Mama baik-baik."

Diraihnya lengan sang anak supaya berhadapan dengannya secara tegas.

My Everything✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang