MAIN MATA

22.2K 766 45
                                    

(perhatian, tulisan ini mengandung unsur gxg. Bagi yang tidak suka, jangan menghujat. Cukup angkat kaki dan pergi dari sini)

****

Di suatu sore yang masih cukup terik, suara gamelan Jawa terdengar begitu meriah. Ada banyak sekali orang orang yang  berjubel ditempat itu. Tidak peduli mau laki laki atau perempuan, tua atau pun muda, anak anak, bahkan lansia yang sebentar lagi tertidur ditanah. Semua nya memadati halaman balai desa yang tengah menggelar acara Tayuban.

Para penonton perempuan kebanyakan hanya diam menyaksikan dengan wajah datar, ada yang sibuk mengurusi anaknya yang rewel.
Anak anak yang ikut menyaksikan pun kebanyakan tidak mengerti apa yang mereka saksikan. Bahkan ada pula yang mengamuk karena suaminya naik ke panggung.

Para laki laki jauh lebih antusias dengan pagelaran ini. Beberapa diantaranya naik ke panggung dan menari bersama para penari. Bahkan Pak Lurah pun turut serta. Tidak peduli pada istrinya yang duduk di pendopo balai desa bersama ibu ibu lainnya. Sama halnya dengan warganya yang lupa dengan istrinya dirumah, yang penting bisa menari dengan para penari Tayub yang lebih cantik daripada bini bininya.

Para penabuh gamelan sama sekali tak terlihat lelah. Mereka malah kian menggila saat tiba pada puncaknya. Dimana seorang penari Tayub yang paling terkenal dan paling cantik di daerah tersebut bersiap tampil.

Sorak sorai penonton kian riuh saat penari itu naik ke panggung dan mulai menari. Terdengar siulan siulan genit dari para hidung belang. Mereka rela meninggalkan istri istrinya seandainya bisa mengawini penari itu.

"Calon bojoku kae Man!"  (Calon istriku itu Man).

Seorang bapak bapak berteriak ditengah kerumunan penonton yang sibuk menari. Dengan senyum mesum dan mata keranjang ia begitu percaya diri menunjuk sang penari.

"La bojone njenengan neng omah wae wes papat. Arep mbok tambahi maneh to Lik?" 
(La istrimu dirumah saja sudah ada empat. Masih mau ditambah lagi Paman?)
Laki laki yang jauh lebih muda itu tidak habis pikir dengan si bapak bapak itu.

"Wes ora urus karo mbok wedok"  (sudah tidak peduli dengan istri).
Jawaban itu membuat si pemuda berdecak.

"Jebul wes edan wong iki" (ternyata sudah gila orang ini).

Keduanya kembali larut dalam suasana Tayuban. Menari nari sesuka hati dengan para warga. Memuja muja sang penari Tayub sebagai idola mereka.

Ada satu mobil yang beberapa kali membunyikan klakson saat lewat depan balai desa. Itu akibat ramainya para penonton yang menyaksikan Tayuban. Kerumunan itu sampai ke jalan jalan dan sedikit menghambat lalu lintas.

Sebenarnya itu bukan jalan raya. Hanya sebuah perempatan jalan menuju beberapa dusun. Sebab balai desa tersebut berada dipinggir perempatan jalan.
Kebetulan, kelurahan itu lebih besar dibanding kelurahan lain di sekitarnya. Ada sekitar 26 dusun yang masuk ke wilayahnya. Dan mayoritas jarak dari dusun ke dusun nya terpisah persawahan, perkebunan atau ladang. Makanya sangat strategis jika kantor balai desa nya berada ditengah tengah dusun dusun tersebut.

Mobil tadi pun berhenti beberapa saat karena jalanan yang sangat ramai. Di depan dan belakang nya ada truk pengangkut makanan ternak, mobil yang sedang mengangkut sapi, mobil yang mengangkut ayam ternak dan sisanya kendaraan bermotor.
Kendaraan kendaraan itu terpaksa berhenti karena jalanan depan balai desa sangat ramai oleh para pedagang kaki lima ataupun para penonton.

Kaca belakang mobil tersebut terbuka. Menampilkan seorang gadis yang mengenakan masker untuk menutupi wajahnya. Ia melirik kearah panggung di halaman balai desa. Kerumunan orang menari bersama mengelilingi panggung itu.
Panggung itu cukup dekat dengan jalanan sehingga ia masih dapat melihat para wanita yang menari Tayub.

"PELET" Mahika Maya (GxG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang