001 - About Us

1.1K 91 4
                                    

Happy reading_

***

Tangis kita adalah bahagianya, jangan pernah menangis, Aya. Telan manis dan pahitnya hidup.
—Aegir Bhairavi

***


Alayya menggeleng sembari membawakan tas ransel Aegir masuk setelahnya dia membuatkan teh hangat sedang kakaknya mandi.

"Kenapa?" tanya Aegir saat menyadari tatapan Alayya sendu, ada sejuta rindu dan tangis yang hendak ia adukan. Namun, entah mengapa semuanya tertahan di tenggorokan.

Laki-laki yang berusia tujuh belas tahun itu telah merawat dan mendidik adiknya sendiri, bahkan usia mereka hanya terpaut satu tahun.

"Udah gue bilang, Bubble. Kalau mau nangis atau cerita nggak papa ke gue," katanya mengusap pelan kepala adiknya.

Aegir suka memanggil Alayya dengan sebutan bubble yang berarti gelembung cantik, tapi gampang pecah. Sama sepertinya cantik, tapi jiwanya rapuh. Alayya yang gampang menangis jika di hadapannya.

"Bagaimana Aya jawab pertanyaan mereka?"

Mendengar hal itu Aegir menautkan alis, merasa bingung dengan ucapan Alayya. "Mereka siapa?"

"Tadi pas daftar di SMA Sky Light yang kayak Abang saranin, mereka nanya kenapa nama orang tua atau wali Aya kosong sedangkan paman nggak mau jadi wali." Alayya menjelaskan garis besarnya saja. "Gue rasa ada yang lain, Ay. Katakan saja."

Percuma menyembunyikan sesuatu darinya, Aegir langsung sadar akan sebuah keganjalan. "Apa mereka hanya bertanya itu?"

"Enggak, tapi Aya tidak mau mengulangi perkataan mereka. Perkataan yang menjijikkan. Euhm, Abang nggak mau daftar juga? Udah setahun Abang nggak sekolah."

Aegir mengangguk, bukan tanpa alasan dia putus sekolah. Itu semua untuk mencari biaya wisuda sekaligus pendaftaran adiknya agar Alayya bisa daftar di sekolah terbaik, tidak mengapa tidak melanjutkan pendidikan asal pendidikan adiknya tidak pernah putus.

"Isi nama gue aja, Ay."

"Aya takut, Bang." Alayya menunduk, ada sebuah kekhawatiran dalam lubuk hatinya. "Kenapa, Bubble?"

Alayya terdiam sejenak, ada rasa tidak enak selama ini hanya Aegir yang bekerja keras sedang dirinya hanya menikmati.

"Atau gini aja, Abang yang ganti sekolah biar Aya yang ganti kerja kan—" Ucapan Alayya terputus kala Aegir langsung membekap mulutnya. "Nggak, konsepnya nggak gitu, Ay. Gue yang kerja lo yang sekolah udah gitu."

"Tapi, Bang ... Aya mau Abang juga sekolah atau kita kerja dulu setahun nanti kalau uangnya udah terkumpul baru kita daftar bareng-bareng." Sejak dulu hingga hari ini permintaan Alayya tidak pernah ia abaikan, dia mencari cara agar adiknya mau mengerti. "Di SMA SL ada beasiswa juga, Bang. Untuk beberapa atlet juga ada," lanjut Alayya sangat menyayangkan pendidikan abangnya.

"Ay ...."

"Ayolah, Bang. Sekolah sama Aya, ya," mohonnya agar Aegir mempertimbangkan keputusannya lagi. "Nanti kalau ada tugas Aya bantuin deh."

Aegir berpikir sejenak, jika sekolah bersama adiknya itu artinya juga bisa menjaga Alayya agar tetap aman.

"Nanti gue cari info tentang beasiswa itu, okay nanti seumpama ada kesempatan untuk masuk ...."

"Abang masuk, ya," desak Alayya membuat kakaknya mengangguk. "Iya, Bubble."

Mereka mengobrol beberapa menit sebelum akhirnya istirahat, di rumah mungil ini ada terdapat satu kamar, satu ruang tamu, dan dapur yang sempit.

"Good night, Bubble." Aegir mematikan lampu kamar. Mereka berbagi kamar, di pojok kanan ada kasur Aegir dan di pojok kiri ada kasur Alayya.

"Good night, Abang."

Baru saja memejamkan mata sebuah dobrakan terdengar cukup keras, mau tak mau keduanya bangun. Alayya yang sudah hafal dengan dobrakan itu langsung menuju Aegir.

"Abang ...." Di kegelapan kamar, Alayya melihat abangnya khawatir pasti ada yang tidak beres. "Tenang, Ay. Gue lihat dulu, lo di sini aja, ya. Jangan lupa kunci kamar dari dalam."

Alayya mengangguk saat Aegir berdiri dan mengecek apa yang terjadi.

Brak!

Tanpa menunggu banyak waktu seorang pria melempar kursi ke arah Aegir, dengan santai dia menangkap kursi dan mengembalikan ke tempat semula.

"Lo ingin bohongin gue, hah?" Aegir terdiam dia duduk di depan pamannya. "Lo bilang hasil menang turnamen ada 500 ternyata setelah gue cek ke sana ada sejutaan."

"Jawab!" gertak Luwis meninggikan nada bicaranya, seakan tidak sabar menghabisi keponakannya. Pria gagah dengan baju kebesaran tersebut mengeluarkan pisau kecil.

"Maaf, Paman. Uangnya buat daftarin Aya ke sekolah," jawabnya dengan jujur, tidak ingin menambah masalah.

Brak!

Luwis langsung mendorong tubuh Aegir hingga menatap dinding rumah, terdengar sebuah benturan yang cukup kencang kala kepala Aegir bertabrakan dengan permukaan dinding.

"Lo mau adik lo mati?" Aegir menggeleng. "Ya udah serahin cepet."

Aegir langsung mengambil beberapa lembar uang bewarna merah muda dari sakunya, "Sudah."

"Awas lo boong, gue gadaikan adik kesayangan lo," ancam Luwis membuat Aegir hanya diam, tidak berani melawan atau membantah perintah pamannya.

Luwis selalu menuntut mereka untuk berprestasi dan jika menang uang pembinaan dari event atau perlombaan akan ia ambil, jika kalah dia tidak akan mengampuni Aegir dan Alayya.

"Aya bukan barang yang bisa digadaikan ...," lirihnya mengatur napas tak beraturan, dia mengetuk pintu kamar pelan memberi isyarat semua telah berakhir.

"Bang Aegir!" seru Alayya menutup pintu, kemudian memeluk Aegir. "Abang nggak papa?"

"Tidak, Ay. Tidak apa." Akhirnya Aegir mengajak Alayya untuk tidur, malam juga semakin larut. Namun, setetes air mata Aya mengalir begitu saja.

"Tangis kita adalah bahagianya, jangan pernah menangis, Aya. Telan manis dan pahitnya hidup." Aegir menghapus air matanya sembari menuntun gadis itu masuk.

Jika kalian berpikir mengapa mereka berdua tidak kabur saja dari rumah, jawabannya simpel Luwis selalu bisa menemukan dan parahnnya saat mereka kembali Luwis akan menghadiahi mereka dengan pukulan dan guyuran air bekas cucian di tengah malam. Aegir hanya tidak tega melihat adiknya tersiksa.

Harta yang berharga bagi seorang Aegir Bhairavi adalah memiliki Alayya Nalani, mungkin semesta tidak memberikan kesempatan untuk bisa bersama orang tua. Namun, semesta masih baik mengirimkan sosok peri kecil untuknya.

"Lo sayang gue, 'kan?" tanya Aegir takut jika Alayya meninggalkan dirinya, entah akan se-berantakan apa hidupnya karena Alayya adalah alasan utama dirinya untuk bertahan hidup. "Aya akan selalu sama Abang."

.
.
.
Next ga nih?

Happy weekend bestiee💙

Alayya dan Aegir

Semesta begitu adil dalam memberikan bahagianya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semesta begitu adil dalam memberikan bahagianya.
—Aegir Bhairavi

27 februari 2022🐝

RECAKA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang