Happy reading_
•••
"Beda kepala, beda sudut pandang dalam menghadapi masalah."
—Tirta Amarta•••
Ingin sekali pak Airlangga pulang dan dapat beristirahat dengan tenang, kepalanya sudah cukup pening memikirkan cerita Luwis. Namun, bukannya ketenangan yang ia dapatkan melainkan sebuah kegaduhan yang anak semata wayangnya ciptakan."Papa, ke mana aja? Johan mau ngomong sama Papa," celetuk Johan duduk di kursi ruang tamu, tepatnya di hadapan papanya.
Pak Airlangga hanya memijit pelipisnya sendiri seraya mendengarkan apa yang anaknya ingin katakan.
Johan mengembuskan napas gusar ketika sang papa tidak kunjung menjawab, kemudian dia berkata, "Habis ini ada pemilihan umum ketua OSIS, buat Johan yang menang, Pa."
Masih tidak ada sahutan. "Papa denger Johan, 'kan?"
Pak Airlangga menggeleng kemudian beranjak untuk masuk kamar, tapi langkahnya dihentikan oleh perkataan Johan.
"Tumben Papa nggak dengerin permintaan Johan? Apa sekarang Papa lebih peduli sama anak yang Papa cari? Percuma, Pa! Apa yang Papa harepin?" tanyanya bertubi-tubi, tidak ingin perhatian pak Airlangga tersita karena anak yang dicarinya. "Emang apa kelebihan mereka, papa juga tidak tahu mereka masih hidup atau mati. Pa, bukankah sudah cukup Papa punya anak Johan?"
Pak Airlangga tak berkutik, sekarang dia sadar apa yang telah ia berikan kepada Johan ternyata salah. Anak itu tidak mempunyai empati, bahkan ia selalu mengedepankan apa yang ia mau. Ya, sejak dulu pak Air selalu memanjakan Johan, apapun yang Johan mau selalu ia turuti karena yang ia harapkan anaknya tumbuh tanpa kekurangan apapum. Cukuplah semesta memisahkan dia dengan mamanya.
"Sudahlah, Jo. Jika mereka masih hidup Papa hanya mau minta maaf sudah menelantarkan mereka hingga saat ini," sahut pak Airlangga sembari memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Apa mereka mau menerima Papa?"
Jleb!
Tidak bisa dipungkiri jika mungkin saja anak yang ia cari mempunyai dendam dalam hatinya, pak Airlangga tidak memikirkan sampai ke sana.
"Berhenti mencari, Pa. Hidup seperti Papa dulu, yang nggak pernah penasaran dengan anak-anak sialan itu!"
"Jaga mulutmu, Jo. Mereka juga anak Papa," katanya terdengar dingin, tapi bagi Johan itu tidak menyeramkan sama sekali. "Lalu gimana dengan pemilihan ketua OSIS itu?"
Setahun yang lalu dia menang pemilihan suara karena bantuan papanya, entahlah untuk tahun ini sepertinya pak Airlangga tidak ada niatan untuk membantunya.
"Selesaikan masalahmu sendiri!" Kalimat terakhir sebelum papanya menaiki tangga, Johan mengepalkan tangan.
"Ini semua gara-gara lo! Gue nggak akan biarin Papa menemukan lo!" lirihnya sudah tersulut emosi.
*****
Sambil menunggu Aegir yang masih ekskul bela diri, Alayya mengelilingi sekolah sendiri hingga tak sengaja bertemu Tirta di halaman sekolah, sedang berdiri di pinggir kolam ikan sekolah.
Gadis itu menghampirinya, tak ayal dia duduk seraya melihat Tirta yang sedang memberi makan ikan yang berada di kolam sekolah.
"Belum pulang, Kak?" tanya Alayya basa-basa, laki-laki itu tampak menggeleng. "Kalau aku udah pulang terus yang sama kamu siapa?"
"Hehehe, bener juga. Emang kenapa nggak pulang?" Alayya malah memainkan air. "Habis rapat tadi, Kamu kenapa masih ada di sekolah?"
"Nunggu Abang masih ekskul noh, lagian kak Valdrin udah pulang katanya ada keluarganya yang ultah terus kak Jovan sama Kak Nuha nggak tahu di mana, misterius amat tuh orang," cibir Alayya yang sedang berkeluh kesah sembari meminta makanan ikan ke Tirta, dia juga ingin memberinya makan.

KAMU SEDANG MEMBACA
RECAKA [END]
Ficção Adolescente"Syarat hidup cuma satu, Ay." -Aegir Bhairavi. "Apa, Bang?" -Alayya Nalani. "Bernafas." -Aegir Bhairavi. Mereka kakak beradik yang tidak pernah tahu keberadaan orang tua dan dijadikan mesin penghasil uang pamannya. Melodi lautan dan ketenangan langi...