060 - Menghukum Diri

246 31 10
                                    

Happy reading_

•••

Kau terlalu berharga untuk gue yang seperti sampah.
—Aegir Bhairavi

•••


Cukup lama berbicara dengan orang tidur Alayya mengakhirinya, salah satu tangan menadah tangan ke langit. "Gerimis."

Saat menyadari air dari langit mulai turun, gadis itu tersadar akan sesuatu. "Abang ...!"

Alayya menggoyangkan lengannya, agar laki-laki yang kepalanya di pangkuan Alayya saat ini segera bangun agar mereka bisa meneduh. Tidak mungkin Alayya mengangkat tubuh Aegir atau malah menggeretnya.

"Abang gerimis, kita berteduh di halte," ujar Alayya dengan lembut, perlahan kedua kelopak mata Aegir terbuka. Dia tidak begitu tega hingga membiarkan Aegir kehujanan sendiri.

Dengan susah payah Alayya berhasil memapahnya hingga halte, mata Aegir terus menatap gadis yang memainkan tangan di tetesan rintik air dari atap.

Tak lama hujan semakin lebat, gemuruh dan halilintar seakan bersahutan membentang di garis cakrawala, mereka duduk dengan jarak yang sedikit berjauhan. Entah mengapa sekarang suasana menjadi canggung, Aegir yang memasukkan kedua tangan ke saku celana dan Alayya yang memainkan kotak kosong di tangannya.

Tes!

Setetes air dari atap yang bocor membasahi punggung tangan Aegir yang berada di atas kepala Alayya, kemudian berkata, "Agak kesinian, di sana bocor entar lo bisa basah!"

Suara judes masih terdengar dengan jelas. Namun, sedikit perhatian itu setidaknya membuat Alayya senang bukan main karena untuk pertama kalinya Aegir memperhatikan dirinya.

"Euhm ... emang nggak papa?" Aegir menggeleng. "Sebagai imbalan lo udah bantuin gue, nggak usah geer tapi!!"

"Makasih."

Mereka hanya berdua, dalam diam Alayya sempat berpikir apakah ingatan Aegir sudah kembali atau ini hanya sekadar imbalan seperti yang ia ucapkan?!

Dia masih berharap jika ingatan Aegir bisa kembali, tapi di sisi lain Alayya juga tidak ingin mendapat kekecewaan dari harapan-harapan yang masih tidak jelas.

Tak lama hujan mulai reda bersamaan dengan itu pak Air datang dengan sedikit tergesa-gesa dia meminta Aegir agar masuk ke mobil, syukurlah cowok itu menurut.

"Motormu udah diambil Johan, oh ya kepalanya masih sakit?" tanyanya saat membantu Aegir mendudukkan diri. "Sedikit, Pa."

"Ya sudah, mari kita pulang!" serunya setelah berpamitan ke Alayya. "Kamu yakin nggak mau saya antar sekalian?"

Gadis itu terus menerus menggeleng, baginya rumah Tirta cukup dekat. Jadi, mengapa dia harus nebeng.

"Terima kasih, Pak."

Aegir masih melihat dari kaca mobil, seorang gadis yang masih berdiri untuk menunggunya pulang.

"Kenapa, Ryu?"

"Aku nggak pantes jadi abang buat Aya," jawabnya dengan lirih hingga suara deru napasnya lebih terdengar jelas. "Apa maksudmu, dia adikmu. Katakan padanya, saya rasa dia akan senang dan menerima hal itu."

Aegir terdiam, dia terlalu pengecut untuk mengatakan semua yang terjadi belakangan ini, dia tidak ingin merepotkan gadis kecil itu lagi.

"Tidak, Pa. Hidupnya sudah enak sama Kak Tirta, kalau sama aku banyak sakitnya," celetuk Aegir membuka pintu mobil ketika sampai rumah dan langsung menuju kamar.

RECAKA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang