Happy reading_
•••
"Sejatinya kebahagiaan abadi dimulai ketika ruh berpisah dengan raga."
—Tirta Amarta•••
Tirta mengajak Alayya ke rooftop, berharap di sana cukup sepi dari siswa maupun siswi agar tidak menganggu konsentrasi Tirta.Padahal tadi niatnya ke sini untuk menyalin materi, tapi yang cowok berkacamata itu lakukan malah duduk terdiam di bibir bangunan dengan buku yang ia dekap.
Dulu dia sering ke rooftop bersama Acheflow, hanya untuk bertukar pikiran atau jika memungkinkan mereka akan saling membantu dalam tugas sekolah.
Tirta memijit pelipisnya, dia tidak boleh larut dalam kesedihan. Dunia terus bergerak maju, apapun yang telah terjadi di masa lalu harus ia ikhlaskan.
Semilir angin seakan menyapa dua insan yang saat ini sedang asyik dengan jalan pikiran masing-masing. Tirta mengembuskan napas kemudian melihat Alayya sejenak.
"Kakak pusing?" tanya Alayya melihat Tirta yang masih memijit pelipisnya, cowok itu nampak menggeleng. "Kenapa nggak jadi nyatet?"
"Nanti saja, Aya." Tirta melihat gelang di pergelangan Alayya, kemudian mengangkatnya. "Kamu suka gelang ini?"
"Iya, Kak. Memangnya ada apa, Kak Tirta kangen sama Kak Ache?" Tirta membeku di tempat, kenapa Alayya begitu mudah menebak apa yang ia pikirkan. "Tidak juga, oh ya gimana tinggal sama keluarga kandungmu?"
Jleb!
Alayya merasa terkejut, dia belum menceritakan semua ini ke siapa-siapa lantas mengapa Tirta sudah mengetahuinya.
"Jangan terkejut seperti itu, Abangmu yang menceritakan semuanya," tambah Tirta secara cepat ketika melihat raut kebingungan di wajah Alayya. "Ah, pantas aja!"
"Aya, Kakak boleh ngasih kamu saran?" Tentu dia mengangguk, bagaimana tidak dalam kehidupan Alayya seorang Tirta Amarta sudah seperti sosok ayah baginya. "Terimalah kenyataan jika pak Air adalah ayah kandungmu."
"Kenapa? Kenapa harus menerima fakta ini? Apa tidak bisa Aya nggak menerima? Apa rasa sakit selama ini bisa terbayarkan? Apa perkataan teman-teman dulu bisa ditarik kembali? Tidak, menerima atau tidak semua itu sama saja, Kak. Kak Tirta ingin Aya tersiksa?" tanya Alayya dengan berbondong pertanyaan dan penjelasan, seakan mengingkari perkataan Tirta secara halus. "Tentu saja beda, Ay."
"Apa bedanya? Ada tidaknya dia tetap saja selama ini Abang yang udah didik dan ngerawat Aya," tuturnya menyilangkan tangan di depan dada. "Kata orang ayah adalah cinta pertama bagi putrinya."
"Tapi ayahku tidak seperti itu, Kak. Mungkin bagi kebanyakan orang iya, tapi bagi Aya enggak! Buktinya siapa yang menyediakan bahu untuk bersandar ketika Aya sedang putus asa? Abang. Siapa yang ngerawat Aya ketika sakit? Abang. Siapa yang ngusap air mata Aya ketika nangis? Bang Aegir. Aya nggak butuh a—"
Tirta langsung memotong ucapan Alayya agar tidak kebablasan. "Kamu butuh, Ay. Kamu butuh!"
"Untuk apa? Untuk menambah rasa sakit?" Tirta menggeleng, lebih memilih diam ketika emosi Alayya semakin meluap daripada nanti meledak.
Saat dirasa keadaan sudah cukup stabil, Tirta berkata, "Maaf, Aya."
"Untuk apa, Kak? Bukankah ini semua salah Aya yang gampang sekali emosi," sahutnya merasa tidak enak. "Tidak. Seharusnya Kakak lebih bisa mengerti kamu."
Alayya tertawa kecil. "Tidak perlu, bahkan Aya saja nggak bisa ngertiin Kakak."
"Aya ...."
"Maaf, Kak. Kemarin Bang Aegir juga meminta Aya untuk menerima pak Air sebagai papa, tapi untuk saat ini belum siap." Alayya menunduk, merasakan mata yang mulai memanas tak lama setelahnya butiran embun dari pelupuk mata lolos begitu saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
RECAKA [END]
Teen Fiction"Syarat hidup cuma satu, Ay." -Aegir Bhairavi. "Apa, Bang?" -Alayya Nalani. "Bernafas." -Aegir Bhairavi. Mereka kakak beradik yang tidak pernah tahu keberadaan orang tua dan dijadikan mesin penghasil uang pamannya. Melodi lautan dan ketenangan langi...