Happy reading_
•••
Sering terjadi sudah memiliki niat yang bagus, tapi cara penyampaiannya yang salah dan kita gagal memahami hal itu.
—Aegir Bhairavi•••
Sesampainya di rumah sakit, Aegir langsung masuk ruangan Luwis bersama Riska. Dia melihat pria itu mengerang kesakitan dengan sesekali memegang dadanya.Aegir menggenggam erat tangan Luwis, sembari membisikkan kata-kata penenang untuknya.
Sejenak dia melupakan bagaimana sikap pamannya selama ini, yang terpenting baginya saat ini adalah melihat Luwis tidak kesakitan lagi. Manusia mana yang tega melihat seorang pria yang sudah tak berdaya di ranjang rumah sakit.
Mengetahui sang suami dan Aegir memerlukan waktu hanya berdua, Riska pun keluar sembari menahan isak tangisnya, ditambah dia juga harus menyambut kedua buah hatinya yang akan ke sini.
"M—maafin paman Aegir," katanya sedikit terbata-bata dengan napas memburu, Luwis nekat melepas selang oksigen yang sejak tadi menopang hidupnya. "Aegir sudah melupakan semua, Paman. Kenapa melepas ini?"
Saat hendak memasangkannya pria itu menolak sembari mengatakan, "Hidup paman tinggal sebentar ...."
"Jangan bicara seperti itu, Paman." Antara panik dan bingung harus menanggapi ucapan pamannya seperti apa, ia mengusap pelan keringat di dahi Luwis. "Sampaikan maaf juga ke adikmu, Alayya."
"Paman jangan banyak bicara dulu, nanti tenaganya bisa terkuras habis." Meski sudah Aegir peringatkan Luwis tetap kekeuh, tidak mau berhenti.
Tangan beratnya menyentuh wajah Aegir, kemudian pria itu tersenyum tulus. Ini adalah kali pertama dalam hidup Aegir melihat pamannya tersenyum tulus lebih-lebih kepadanya.
"Lu udah besar ternyata, bayi setahun yang gua selamatkan dari ombak laut telah tumbuh dengan cepat," ceritanya membuat Aegir mengerutkan kening, cukup bingung dengan ucapan Luwis. Namun, otaknya langsung sinkron dengan ucapan Luwis beberapa hari yang lalu saat di hadapan pak Airlangga.
"S—selama ini gua nggak pernah makan uang kalian. Lu tau uang hasil lomba-lomba atau hasil kalian dari angkringan gua tabung buat biaya pendidikan kalian, nanti ambil di bibi kalian, ya. Gua cuma mau kalian fokus pendidikan tanpa memikirkan biaya, maaf selama ini gua terkesan memaksa kalian, sering mukul kalian. Gua mau saat nanti nggak ada ... kalian bisa kuat. Dunia itu kejam, Gir! Semua rahasia dan identitas kalian ada di peti kecil yang gua sembunyiin di gudang ...." Luwis memejamkan mata, ketika sakitnya sudah menjalar ke seluruh tubuh.
"Paman ...," lirihnya mengeratkan genggaman tangan. "Gua percaya lo bisa lindungi Alayya jangan sampai dia kehilangan sandaran karena tiap kali gue lihat Alayya gue inget mamanya, gua titip Riska dan anak-anak."
Luwis menekan dadanya yang kian sesak, berusaha untuk tetap kuat. "Jangan pernah ada dendam ke gua, kalau ada lu bales sekarang mumpung gua masih ada."
Aegir menggeleng, pandangannya tak pernah terlepas dari Luwis. "Lu ikhlas?"
"Iya, Paman. Aegir sudah melupakan semuanya."
"Satu lagi pesen gua jangan pernah percaya sama ayah lu!"
"Ayah, siapa?" Luwis menggeleng, tak lama kedua anak kembarnya masuk langsung memeluknya. Aegir yang paham langsung sedikit menjauh, ia memberikan ruang untuk mereka agar lebih dekat dengan ayahnya.
Di depan mata kepalanya, Aegir menyaksikan bagaimana kedua anaknya menuntun Luwis untuk syahadat sekaligus bagaimana ruh terpisah dari raga.
"Ayah ...."

KAMU SEDANG MEMBACA
RECAKA [END]
Novela Juvenil"Syarat hidup cuma satu, Ay." -Aegir Bhairavi. "Apa, Bang?" -Alayya Nalani. "Bernafas." -Aegir Bhairavi. Mereka kakak beradik yang tidak pernah tahu keberadaan orang tua dan dijadikan mesin penghasil uang pamannya. Melodi lautan dan ketenangan langi...